Salah satu lapak pakaian bekas di Pasar Sentral Timika, Papua Tengah. (IDN Times/Endy Langobelen)
Penolakan tak hanya datang dari pedagang, tapi juga dari konsumen. Uli Artha br. Siregar (45) mengaku masih bergantung pada produk thrift karena harganya jauh lebih terjangkau dibanding pakaian baru di mal.
“Harga di mal ratusan ribu, kualitasnya banyak yang KW. Di thrift masih bisa cari yang bagus dan murah,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Gunawan Benjamin menilai bahwa rencana pemerintah memang memiliki orientasi positif—yakni melindungi industri tekstil dalam negeri. Namun, kebijakan tersebut harus dijalankan secara gradual dan terukur agar tidak menimbulkan gejolak sosial.
“Larangan impor memang dapat memperkuat industri tekstil domestik, tetapi secara bersamaan berisiko meningkatkan pengangguran dan menekan daya beli masyarakat,” jelas Gunawan.
Menurutnya, perdagangan pakaian bekas sudah menjadi bagian dari ekonomi informal di berbagai daerah, termasuk Medan.
“Kebijakan seperti ini perlu diimplementasikan secara gradual dan disertai dengan mekanisme transisi yang jelas agar tidak menimbulkan gejolak sosial-ekonomi, khususnya di wilayah yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap perdagangan pakaian bekas,” ujarnya.
Gunawan juga mengingatkan pentingnya memilih waktu yang tepat sebelum kebijakan diberlakukan. “Kebijakan yang secara substansial baik pun dapat menimbulkan resistensi jika diterapkan pada waktu yang tidak tepat. Idealnya, pemerintah menunggu hingga kapasitas produksi industri tekstil domestik mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional,” tambahnya.