Proses pencarian operator excavator proyek PLTA Batangtoru yang jatuh ke sungai (Dok. IDN Times)
Kejadian ini bukan kali pertama pekerja tewas di proyek pembangunan PLTA Batangtoru makan korban. Seorang TKA Tiongkok meninggal dunia dan dua pekerja lokal luka-luka tertimpa reruntuhan pada 21 Agustus 2022 lalu.
Informasi yang dihimpun, dua tenaga kerja yang menjadi korban luka antara lain, Ahmad Somed (49) dan Elpiadi Napitupulu. Sementara, satu korban meninggal adalah Warga Negara Tiongkok bernama Wang Jian (52). Korban meninggal tertimpa reruntuhan di Adit VI. Sementara korban luka tertimpa di Adit I.
Kata Imam, kejadian pada Agustus masih dalam penyelidikan. Mereka menunggu hasil audit dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Ada dugaan kelalaian dalam kejadian tersebut.
IDN Times juga mencatat, pada Desember 2020, seorang operator ekskavator tersapu ke dalam jurang. Kemudian pada April 2021 belasan orang meninggal dunia tertimbun longsor. Termasuk pekerja dari negara asing. Totalnya, tidak kurang dari 15 orang sudah menjadi korban di kawasan PLTA Batangtoru.
Sebelumnya, proyek pembangunan PLTA Batangtoru yang kerap memakan korban jiwa mendapat kritik keras dari lembaga Satya Bumi. Direktur Eksekutif Satya Bumi Annisa Rahmawati mengatakan, berbagai rentetan peristiwa yang terjadi di lokasi proyek sudah harusnya ditindaklanjuti.
“Wilayah ini sudah bermasalah dari aspek dampak lingkungan. Ini momentum bagi pemerintah untuk meninjau ulang proyek PLTA agar tidak memicu bencana bagi masyarakat sekitar dan kerusakan hutan yang menjadi habitat spesies orangutan Tapanuli,” kata Annisa dalam keterangan tertulisnya.
Satya Bumi mendesak agar penegak hukum mengambil langkah tegas. “Apabila ditemukan pelanggaran, penegak hukum perlu mengungkapkan hasil temuannya kepada publik secara transparan dan menindak tegas demi keadilan kemanusiaan dan lingkungan,” ungkapnya.
Proyek PLTA Batang Toru telah dibeli oleh State Development and Investment Corporation (SDIC) China senilai 277 juta dollar AS, setelah Bank Cina mengundurkan diri dari pendanaannya pada tahun 2019 karena komitmen mereka untuk perlindungan lingkungan dan pembiayaan hijau.
Di awal pembangunaannya, PLTA Batangtoru terus mendapat kecaman. Pembangunan PLTA dinilai menjadi perusak habitat Orangutan Tapanuli (pongo tapanuliensis). Status orangutan yang diumumkan pada 2017 itu terancam punah karena tersisa hanya sekitar 700-an individu.