Konjen Tiongkok di Kota Medan digeruduk massa penolak tambang PT DPM, Rabu (24/8/2022). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ungkap Aritonang yang lahir dan besar di Dairi mengatakan, selama proses pembangunan, mereka juga sudah merasakan dampak buruknya. Produksi pertanian mereka merosot tajam hingga 50 persen.
Kata Ungkap, biasanya satu batang durian miliknya bisa menghasilkan omzet hingga Rp5 juta sekali musim panen. Namun saat ini, hasilnya hanya bisa menembus angka Rp1,5 juta saja. Begitu juga dengan jagung yang ditanamnya. Biasa dia bisa memproduksi jagung hingga dua ton.
“Sekarang hasilnya cuma satu ton saja,” ujar Ungkap.
Ungkap juga khawatir berbagai potensi bencana yang akan semakin membesar. Dia mengingat, bagaimana banjir bandang yang terjadi pada Desember 2018 lalu dan menewaskan sejumlah orang. Dua di antaranya tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Kemudian terjadi kebocoran limbah pada aktifitas eksplorasi yang dilakukan PT DPM yang diduga merusak lingkungan. Meski pun beberapa waktu lalu, PT DPM membantah semua tudingan tersebut.
Achmad Zulkarnain, Head of Health Safety Environment and Corporate Relations PT Bumi Resources Minerals (BRM) sebagai perusahaan yang memiliki 49 persen saham di PT DPM pada November 2021 lalu menampik jika banjir bandang pada Desember 2018 disebabkan oleh pembangunan infrastruktur PT DPM. Lantaran pembangunan dilakukan pada Mei 2019.
“Artinya banjir bandang terjadi lebih dulu. Baru PT DPM membangun infrastruktur. Jadi gak bisa dituduhkan itu akibat PT DPM,” tukasnya.
Achmad tidak menampik soal aktifitas pengeboran. Namun dia menolak, ada limbah yang bocor akibat pengeboran. Kata dia , ketika dilakukan pengeboran pada kedalaman 20 meter, terjadi rekahan batuan yang mengakibatkan bentonit atau tanah lempung ke luar.
“Bentonit bahan pupuk juga. Bentonit ke luar ke permukaan. Memang warnanya agak hitam. Tapi itu kan kalau dibilang kerusakan lingkungan, itu dilaporkan, alat bor dicabut, itu selesai,” katanya.