Konflik Agraria di Pematang Siantar, Anggota Futasi Jadi Korban

Pematang Siantar, IDN Times - Konflik agraria kembali terjadi di Sumatra Utara (Sumut). Kali ini konflik melibatkan PTPN III dengan masyarakat petani yang tergabung sebagai anggota Forum Tani Sejahtera Indonesia (FUTASI) di Pematang Siantar.
Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sumatra Utara merupakan provinsi yang senantiasa menyumbangkan angka konflik agraria yang tinggi di setiap tahunnya. Hingga bulan September di tahun 2023, Sumut menyumbang 33 dari 288 konflik yang ada.
Jumlah ini mengalami kenaikan dari sebelumnya yang terjadi 22 konflik. Konflik agraria tersebut hampir dipastikan selalu disertai dengan kekerasan aparat, perampasan tanah, pemiskinan, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya. Begitu pula yang terjadi di Pematang Siantar baru-baru ini.
1. 2 orang jadi korban konflik agraria, 1 orang disebut mengalami luka berat

Dari keterangan yang dihimpun Suhariawan selaku Kordinator KPA Wilayah Sumatra Utara, pada Rabu (05/06/2024) malam sekitar pukul 21.00 WIB, rumah-rumah masyarakat petani anggota FUTASI dilempari. Imbas dari konflik ini, beberapa orang mengalami luka-luka.
"Perbuatan brutal PTPN III kali ini menyebabkan 2 perempuan mengalami luka-luka. Di mana 1 orang di antaranya mengalami luka berat karena dianiaya oleh oknum karyawan PTPN III yang berganti nama PTPN IV Region 1 Kebun Bangun," kata Suhariawan, Jumat (07/06/2024).
Berdasarkan laporan yang diterima KPA, pelaku beserta kelompoknya bahkan melakukan pemukulan dengan menggunakan kayu rotan. Korban kekerasan tersebut diidentifikasi bernama Silvia Ramadani.
"Bagian kepala Silvia ini robek dan berdarah sehingga korban langsung dilarikan ke RSUD Djasamen Saragih untuk mendapatkan pertolongan pertama," aku Suhariawan.
2. FUTASI tak terima dan merasa dikriminalisasi selama satu tahun

Petani FUTASI disebut Suhariawan telah menduduki dan menguasai lahan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di Kampung Baru, Kelurahan Gurilla dan Kecamatan Sitalasari, Kota Pematang Siantar, sejak 20 tahun yang lalu. Konflik yang meletus di wilayah Pematang Siantar itu pun segera dilaporkan ke Polres Pematang Siantar.
Silvia Ramadani yang merupakan korban kekerasan telah melakukan visum dan diketahui membuat laporan tambahan ke polres kota Pematang Siantar mengenai adanya pelecehan seksual yang dialami sebagai pemicu kerusuhan yang terjadi.
"Penggusuran dan penganiayaan oleh PTPN III di Kelurahan Gurilla, bukanlah yang pertama kalinya dilakukan PTPN IV. Penggusuran berlangsung secara berulang dan masif, bahkan selama satu tahun, sejak Maret 2022," kata Suhariawan dalam sebuah konferensi pers.
Dirinya berpendapat jika perampasan tanah disertai dengan kekerasan merupakan salah satu ciri bisnis dan kebiasaan perusahaan perkebunan selama ini.
3. 1.208 jiwa kena dampak penggusuran

Suhariawan menerangkan sebanyak 290 KK kena imbas penggusuran yang dilakukan. Terhitung pula sebanyak 1.208 jiwa petani dan keluarganya yang tergabung dalam FUTASI merasakan dampaknya.
"Maraknya penggusuran yang dilakukan Perusahaan Perkebunan Negara dengan dalih penyelematan aset negara menjadi ironi di tengah komitmen pemerintah yang akan menyelesaikan konflik agraria dan redistribusi tanah. Modusnya keji dan beragam, seperti membenturkan antara masyarakat menggunakan karyawan atau Organisasi Pekerja Perkebunan," terangnya.
Suhariawan mengatakan penggusuran yang dilakukan oleh PTPN III Kebun Bangun merupakan Lokasi Pioritas Reforma Agraria (LPRA) yang diusulkan KPA yang sedang dibahas penyelesaiannya di Kementerian ATR/BPN dan BUMN.
"Kami mengutuk tindakan represif yang dilakukan oleh perusahaan PTPN III Kebun Bangun yang berpotensi menyulut konflik horizontal dengan menggunakan karyawan sebagai tameng. Kami juga meminta polisi untuk menangkap pelaku penganiayaan masyarakat Kampung Baru Gurilla," pungkasnya.