Kisah Relawan Bencana Menerjang Bahaya, Panggilan Hati Tanpa Pamrih

Medan, IDN Times- Bencana selalu menyisakan air mata. Ada yang harus kehilangan orangtua, anak, pasangan hidup, hingga sahabat dan kerabat.
Tapi di setiap bencana selalu hadir simpati dan empati. Tak saling mengenal, bukan saudara, atau hubungan pertemanan, tapi ada saja orang-orang yang bersedia untuk berjibaku di lokasi bencana. Menerjang bahaya demi ikut membantu evakuasi hingga mendistribusikan bantuan dan menghibur para korban. Bukan untuk mengantar nyawa, tapi menyelamatkan nyawa.
Mereka hadir seperti pahlawan, di tengah suasana kalut dan duka. Mereka disebut relawan kemanusiaan. Tanpa pamrih, tanpa bayaran, tapi tulus menolong, meski harus berpeluh. Berkorban waktu, tenaga dan biaya.
Pentingnya peran relawan juga diakui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Setiap 5 Desember diperingati sebagai Hari Relawan Internasional atau International Volunteer Day dandiperingati di 80 negara di dunia. Ini adalah amanat Majelis Umum PBB pada tahun 1985.
IDN Times menyajikan kisah para relawan di lokasi bencana dari beberapa wilayah tanah air.
1. Menjadi relawan saat tsunami Aceh tak terlupakan bagi Herriansyah yang sudah 21 tahun terjun ke berbagai lokasi bencana
Herriansyah seorang relawan Sumut yang terjun ke berbagai lokasi bencana. Sudah 21 tahun, Herri, sapaan akrabnya, berjibaku di lokasi bencana.
Beberapa bencana besar seperti Tsunami Aceh 2004, gempabumi dahsyat di Nias pada 2005. Kemudian gempa dan tsunami di Padang, Sumatra Barat pada 2009.
Selain itu, Herri juga terlibat dalam proses evakuasi kecelakaan pesawat Mandala di Medan pada 2005, kecelakaan pesawat Hercules di Medan pada 2015 lalu dan bencana-bencana lainnya.
Tapi pengalaman saat relawan tsunami Aceh takkan pernah dilupakannya. Saat itu 26 Desember 2004, Herri baru usai pelatihan Palang Merah Indonesia (PMI) di Cibubur. Lelahnya belum hilang, tapi sebuah pesan masuk bertuliskan, “Aceh Gawat,” membuat letihnya seketika hilang. Herri langsung berangkat. Berbekal biskuit kalengan dan dua botol air mineral, Herri berangkat bersama enam anggota timnya. Mereka menumpang pesawat Hercules dari Medan dan diterbangkan ke Sibolga.
“Dari sana, kami kemudian menumpang kapal. Bersama personel TNI dan AL. Itu kapal juga bawa logistik untuk bencana. Saat itu kami tidak tahu, itu kapal mau berlabuh di mana,” kata Herri, Jumat (17/12/2021).
Ternyata kapal yang ditumpangi Herri berlabuh di Meulaboh, ibukota dari Kabupaten Aceh Barat. Herri langsung kaget melihat kondisi porak porandanya kawasan itu diterjang tsunami. “Sampai sana saya langsung terdetak, ini parah,” ungkapnya.
Hampir setiap hari, Herri dan timnya mengevakuasi jenazah. Mulai dari yang utuh hingga yang hanya bagian tubuh saja. Tidak ada rasa ngeri dalam diri mereka melihat tumpukan jenazah korban. Bagi mereka, itu sudah menjadi bagian tugas sebagai relawan.
“Kita kemudian langsung melakukan evakuasi jenazah. Kami bergabung dengan tim PMI di sana. Setiap hari evakuasi jenazah. Tidak habis-habis. Badan kami bau jenazah setiap hari,” ungkap Herri.
Begitu banyak cerita yang berkesan bagi Herri selama melakukan proses evakuasi di sana. Bahkan hingga soal-soal yang berbau mistis.
“Kami angkat jenazah pakai mobil Taft GT. Itu bukan mobil bak terbuka. Percaya gak percaya, kami bawa 15 jenazah sekali bawa. Kami susun rapi. Jenazah di dalam mobil. Kami duduk di atasnya. Itu terasa mudah setiap hari. Jadi ini saya kira cukup aneh juga. Kenapa kami rasanya banyak dimudahkan,” ungkapnya.
Cerita menarik lainnya saat melakukan evakuasi di Meulaboh, adalah saat Herri menemukan satu kaleng yang berisi perhiasan. Herri sempat kaget, karena awalnya dia mengira itu hanya kaleng biasa. Tapi dia merasa ada yang janggal, karena kaleng biskuit itu terasa berat. Saat dibuka, Herri kaget, karena isinya adalah perhiasan.Kaleng itu dia serahkan ke masjid.
"Intinya, saat kita melakukan operasi menjadi relawan, luruskan dulu niatnya. Kita di sana untuk membantu orang yang terkena musibah. Bukan untuk aneh-aneh, apalagi mencari kesempatan dan keuntungan. Intinya adalah niat kita. Kalau niat kita bagus, insha Allah ada jalan. Ini juga mungkin yang membuat kami selalu dimudahkan,” terangnya.
Herri mulai terjun sebagai relawan sebenarnya sejak SMA Negeri 2 Medan 1990-an silam. Saat itu dia sudah tergabung di Palang Merah Remaja (PMR).“Waktu itu saya berpikir supaya bisa ke mana-mana secara gratis. Makanya ikut PMR,” ungkapnya.
Tanpa dia sadari, dia terus menceburkan diri di dalam aktivitas relawan. “Ini menjadi seperti candu. Memang menjadi relawan itu harus dari hati. Luruskan niat ketika berada di lokasi evakuasi,” kata laki-laki 51 tahun itu.