Anak Agung Ayu Eka Samudera Yanti, Guru PNS di Nusa Penida (Dok. Pribadi sebelum pandemik COVID-19)
Anak Agung Ayu Eka Samudera Yanti tidak pernah menyangka jika dirinya akan ditempatkan di Nusa Penida. Ia sudah lama bercita-cita menjadi guru tari, dan hal itu berhasil dicapai. Hanya saja ia harus ditempatkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Satu Atap (Satap) 2 Batukandik, Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.
"Awalnya tidak terbayang akan jadi guru di Nusa Penida, yang tempatnya jauh dan nyeberang lautan. Tapi justru diangkat jadi guru di Nusa Penida," ungkap perempuan 36 tahun ini, Rabu (29/9/2021).
Sejak awal ditempatkan di Nusa Penida, Ayu Samudera langsung dipercaya menjadi guru seni dan budaya di SMPN Satap 2 Batukandik. Lokasi sekolahnya berada di wilayah perbukitan. Sebelas tahun lalu, jalanan menuju desa setempat banyak yang rusak. Jarak rumah kos dan sekolah tempatnya mengajar sekitar 18 kilometer.
Sehingga Ayu Samudera setiap hari harus naik turun bukit, ditambah kondisi jalanan yang rusak.
"Saat berangkat ke sekolah, tidak jarang juga diguyur hujan deras dan angin kencang karena wilayahnya di perbukitan," jelas guru PNS ini.
Ayu Samudera lalu menceritakan pengalaman yang tidak akan pernah ia lupakan, ketika harus berjuang menjalankan kewajiban sebagai seorang guru.
Dalam kondisi hamil besar, ia harus mengendarai sepeda motor ke Desa Batukandik untuk mengajar. Ia pernah diguyur hujan lebat dan harus melalui jalan rusak, sehingga menghambat dia pergi ke sekolah. Kemudian mesin sepeda motornya mati.
"Motor saya mati di jalanan sepi dan itu wilayah perbukitan. Saya harus dorong motor cari bengkel yang lumayan jauh. Tapi astungkara sampai saat ini masih dalam lindungan Tuhan dan selalu diberikan keselamatan," katanya.
Banyak pengalaman lain yang harus ia jalani selama mengajar di Nusa Penida. Mulai dari menghadapi gelombang jelek, hujan badai, dan pernah boat yang ditumpanginya oleng ketika menyeberangi ke Nusa Penida untuk mengajar.
Sebagai seorang ibu, Ayu Samudera tidak bisa intens bertemu serta mengurus anak-anak dan keluarganya secara langsung selama berada di Nusa Penida. Ia hanya bisa pulang dan bertemu keluarga setiap akhir pekan.
Ia tetap menjalin komunikasi melalui smartphone. Jika mendapatkan sinyal bagus, ia mengupayakan video call supaya bisa melihat anaknya. Namun jika sinyal jelek, ia harus menahan rindu dengan hanya mendengar suara anaknya.
"Sedih banget seperti itu, terutama di saat anak sakit. Saya tidak bisa dampingi anak yang mestinya harus lebih berperan untuk mengasuh anak," ungkapnya.
Tidak hanya itu, menjadi seorang guru di kepulauan membuatnya harus mengeluarkan biaya lebih. Khususnya untuk biaya boat ketika harus pulang ke rumah setiap pekan, biaya kos, dan kehidupan sehari-hari di Nusa Penida.
"Terkadang pengeluarannya lebih banyak dibandingkan penghasilan gaji yang diterima. Namun kewajiban sebagai guru membuat saya bertahan."
Itulah beberapa kisah inspiratif para guru di berbagai daerah di Indonesia yang berhasil dirangkum IDN Times dalam liputan kolaborasi dalam rangka memeringati Hari Guru se-Dunia.
Guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubari murid-muridmu!