Ilustrasi Korupsi. (IDN Times/Aditya Pratama)
Tapi akhirnya, utang Canakya tersebut sudah dilunasi 25 Juni 2012. Namun, JPU menguraikan kredit macet yang dilakukan Mujianto dan Canakya yang berlangsung 3 Maret 2014. Padahal pada 2014 itu, terdakwa tidak punya hubungan lagi dengan Canakya.
"Kalau pun ada kesalahan prosedur antara Canakya dengan pihak bank, itu bukan urusan terdakwa. Sebab, dikabulkan atau tidaknya permohonan kredit tergantung kreditur dan debitur serta tidak ada hubungannya dengan terdakwa," ujar Sarpan.
Tentang tuduhan pencucian uang yang dituduhkan kepada terdakwa, memperlihatkan surat dakwaan itu semakin kabur dan tidak jelas. Karena dengan bukti transfer JPU bisa menjerat terdakwa dengan pasal pencucian uang tanpa melibatkan Canakya.
JPU juga tidak melibatkan Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tentang berapa besar kerugian negara yang dilakukan seseorang itu.
Menurut Sarpan, karena tidak memenuhi unsur Pasal 143 KUHAP, maka selayaknya hakim menolak surat dakwaan JPU tersebut sekaligus membebaskan terdakwa dari tahanan.
Dalam surat dakwaan JPU, terdakwa Mujianto dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Selain itu, terdakwa juga dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Menurut jaksa, pemberian KMK kepada PT KAYA tidak sesuai prosedur. Penggunaan KMK oleh PT KAYA tidak sesuai peruntukannya yang menyebabkan negara dirugikan senilai Rp39,5 miliar.