Tersangka kasus perdagangan sisik tenggiling MHY dibawa petugas usai konferensi pers di Kota Medan, Selasa (26/11/2024). MHY bersama dua prajurit TNI dan satu polisi diduga kompak melakoni perdagangan 1,2 ton sisik tenggiling di Kabupaten Asahan, Sumatra Utara. (Saddam Husein for IDN Times)
Bagi Rony dan pegiat konservasi lainnya, putusan ringan terhadap kasus-kasus perdagangan satwa yang melibatkan aparat negara adalah bentuk impunitas. Kasus perdagangan satwa yang menjerat aparat penegak hukum dan militer, menjadi preseden buruk bagi institusi. Rony memandang kejahatan yang dilakukan oleh aparat militer menjadi bentuk penghianatan terhadap negara.
“Aparat militer itu sudah menyalahgunakan tugas dan fungsinya. Dan ini kan sebenarnya jadi mencemarkan nama baik institusi. Nah, ketika institusi itu malah menjatuhkan putusan yang lebih ringan, tentu ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum di sektor KSDAE,” katanya.
Rony juga menyoroti soal hal yang meringankan terhadap kedua prajurit itu. Dalam putusannya, majelis hakim mencantumkan soal lama berdinas menjadi hal yang meringankan. Serka Yusuf disebut sudah berdinas selama 28 tahun. Kemudian Serda Rahmadani sudah berdinas selama 16 tahun.
Bagi Rony, lama atau tidaknya seorang prajurit berdinas tidak bisa menjadi tolok ukur hal yang meringankan.
“Ini tidak bisa menjadi alasan meringankan. Dia akan dianggap meringankan ketika terdakwa membuka kejahatannya, menyebutkan siapa-siapa saja yang pelaku, menjadi whistle blower dia misalnya, nah itu baru bisa disebut sebagai melakukan hal-hal yang meringankan. Mestinya, karena dia adalah prajurit dan melanggar Undang-undang, ini bisa menjadi hal yang memberatkan. Karena itu termasuk pengkhianatan dari sumpah dia sebagai prajurit,” tukasnya.
Hukuman ringan ini juga bertolak belakang dengan amanat Undang-undnag Nomor 32 tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam pasal 40A dalam Undang-undang itu seperti yang didakwakan terhadap dua pelaku itu mengamanatkan hukuman minimal tiga tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara.
“Buruk rupanya penegakan hukum ketika militer disidangkan oleh militer dan dituntut oleh militer, serta pengacaranya juga militer, ini kan menjadi sesuatu yang, bukan di luar kebiasaan, tetapi menjadi preseden yang kemudian buruk terhadap penegakan hukum. Apalagi si pelaku, kejahatan ini terjadi tidak hanya dilakukan oleh si militer sendiri, tetapi juga ada sipil yang terlibat,” katanya.