Kasus 1,2 Ton Sisik Tenggiling, 2 TNI Harusnya Dihukum Lebih Tinggi

Medan, IDN Times – Vonis ringan terhadap dua prajurit TNI yang terlibat dalam perdagangan 1,2 ton sisik tenggiling menyulut kritik pedas. Dua TNI, Serka M Yusuf Harahap dan Serda Rahmadani Syahputra, hanya dihukum satu tahun penjara oleh Pengadilan Militer I-02 Medan.
Di sisi lain, terdakwa dari masyarakat sipil Amri Simatupang harus dituntut tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Asahan. Menyusul tersangka polisi Alfi Hariadi Siregar yang belum disidangkan.
Bagi para pegiat konservasi, hukuman 1 tahun penjara bagi prajurit TNI menjadi penghinaan bagi keadilan ekologi. Apalagi, perdagangan satwa termasuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
“Problemnya adalah ini kejahatan luar biasa. Kejahatan ekologi sebegitu besar dampaknya. Kerugian negaranya juga besar. Dan ini tidak bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan biasa. Bagaimana kita bisa memastikan masyarakat sipil jera melakukan kejahatan, ketika militer saja tidak diberikan efek jera yang besar,” kata Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Rony Saputra kepada IDN Times, Senin (7/7/2025).
1. Hukuman aparat harusnya ditambah sepertiga dari sipil

Rony menyayangkan proses hukum yang berjalan dalam kasus itu. Dia mempertanyakan, kenapa proses hukum dilakukan secara terpisah, antara militer dan sipil. Mestinya, proses hukum bisa berjalan secara sistem peradilan koneksitas. Karena dalam tindak pidana, dilakukan bersama – sama dengan masyarakat sipil.
Gambarannya, kasus itu bisa disidangkan di pengadilan negeri dengan mendatangkan hakim militer, atau sebaliknya. Pun tidak dilakukan dengan koneksitas, idealnya, proses peradilan di militer menunggu putusan dari pelaku sipil. Proses hukum koneksitas juga tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Ancaman hukuman bagi militer itu harusnya ditambah sepertiga dari sipil. Kalau si sipil itu dituntut tujuh tahun, mestinya dia dituntut sembilan tahun. Kenapa demikian? Karena TNI adalah alat negara yang harusnya menjalankan Undang-undang. Sehingga harusnya ancaman dan putusan hukuman jauh lebih tinggi daripada si sipil,” kata Rony.
2. Putusan ringan jadi bentuk impunitas terhadap penghianatan Undang-undang

Bagi Rony dan pegiat konservasi lainnya, putusan ringan terhadap kasus-kasus perdagangan satwa yang melibatkan aparat negara adalah bentuk impunitas. Kasus perdagangan satwa yang menjerat aparat penegak hukum dan militer, menjadi preseden buruk bagi institusi. Rony memandang kejahatan yang dilakukan oleh aparat militer menjadi bentuk penghianatan terhadap negara.
“Aparat militer itu sudah menyalahgunakan tugas dan fungsinya. Dan ini kan sebenarnya jadi mencemarkan nama baik institusi. Nah, ketika institusi itu malah menjatuhkan putusan yang lebih ringan, tentu ini menjadi catatan buruk dalam penegakan hukum di sektor KSDAE,” katanya.
Rony juga menyoroti soal hal yang meringankan terhadap kedua prajurit itu. Dalam putusannya, majelis hakim mencantumkan soal lama berdinas menjadi hal yang meringankan. Serka Yusuf disebut sudah berdinas selama 28 tahun. Kemudian Serda Rahmadani sudah berdinas selama 16 tahun.
Bagi Rony, lama atau tidaknya seorang prajurit berdinas tidak bisa menjadi tolok ukur hal yang meringankan.
“Ini tidak bisa menjadi alasan meringankan. Dia akan dianggap meringankan ketika terdakwa membuka kejahatannya, menyebutkan siapa-siapa saja yang pelaku, menjadi whistle blower dia misalnya, nah itu baru bisa disebut sebagai melakukan hal-hal yang meringankan. Mestinya, karena dia adalah prajurit dan melanggar Undang-undang, ini bisa menjadi hal yang memberatkan. Karena itu termasuk pengkhianatan dari sumpah dia sebagai prajurit,” tukasnya.
Hukuman ringan ini juga bertolak belakang dengan amanat Undang-undnag Nomor 32 tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam pasal 40A dalam Undang-undang itu seperti yang didakwakan terhadap dua pelaku itu mengamanatkan hukuman minimal tiga tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara.
“Buruk rupanya penegakan hukum ketika militer disidangkan oleh militer dan dituntut oleh militer, serta pengacaranya juga militer, ini kan menjadi sesuatu yang, bukan di luar kebiasaan, tetapi menjadi preseden yang kemudian buruk terhadap penegakan hukum. Apalagi si pelaku, kejahatan ini terjadi tidak hanya dilakukan oleh si militer sendiri, tetapi juga ada sipil yang terlibat,” katanya.
3. Jampidmil harus melakukan evaluasi terhadap kasus-kasus ekologi

Rony kembali menegaskan, putusan-putusan pengadilan yang melibatkan aparat militer masih jauh dari keadilan ekologi. Proses penegakan hukumnya menunjukkan sistem peradilan yang tidak berperspektif pada dampak yang diakibatkan dari perbuatan pidana tersebut.
Rony mendorong oditurat militer melakukan banding dalam perkara sisik tenggiling itu. Terlebih menelusuri aset-aset yang dimiliki pelaku. Patut dicurigai, bukan kali ini saja kedua terdakwa melakukan perdagangan satwa atau bagian tubuhnya.
Dia juga mendorong Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) melakukan evaluasi terhadap perkara-perkara ini. Terlebih mengambil peran melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara yang berbentuk koneksitas.
“Putusan ini membuktikan bahwa tidak ada koordinasi antara kejaksaan dan oditur militer dalam penanganan perkara yang melibatkan pelaku sipil dan pelaku militer. Nah, mustinya jaksa dari sipil itu bisa juga menjadi penuntut di perkaranya si militer,” pungkasnya.
Kasus perdagangan sisik tenggiling ini begitu menyita perhatian publik. Kasus ini terungkap dalam operasi gabungan Polisi Militer TNI AD, Polda Sumut dan Bala Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah Sumatra pada 11 November 2024 lalu. Dalam operasi ini, petugas menyita total 1,18 ton sisik tenggiling. Amir ditangkap petugas bersama dua prajurit TNI Rahmadani Syahputra dan Muhammad Yusuf Siregar serta seorang Anggota Polri Bripka Alfi Hariadi Siregar.
Dalam kasus ini, keempatnya diduga menyebabkan kerugian lingkungan begitu besar. Direktorat Jenderal Gakkum LHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan valuasi ekonomi yang dilakukan Kementerian LHK bersama dengan ahli dari IPB University, bahwa 1 ekor trenggiling mempunyai nilai ekonomis berkaitan dengan lingkungan hidup sebesar Rp50,6 juta. Untuk mendapatkan 1 kg sisik trenggiling, 4-5 ekor trenggiling dibunuh. Dengan dibunuhnya 5.900 ekor trenggiling, maka kerugian lingkungan mencapai Rp. 298,5 miliar.