Massa AKBAR Sumut dihadapkan barikade polisi saat akan masuk ke kawasan DPRD Sumut. Mereka menarik diri dari kawasan unjuk rasa karena situasi yang semakin tidak kondusif. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Sebelumnya, Ketua PFI Medan Rahmad Suryadi mengatakan, kasus intimidasi ataupun kekerasan terhadap jurnalis menjadi preseden buruk untuk aparat keamanan. "Seharusnya oknum aparat sudah memahami bahwa kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tidak ada pembenaran untuk mengintimidasi jurnalis yang bertugas. Mudah-mudahan kejadian serupa tidak terulang lagi," ungkapnya.
Intimidasi yang dilakukan oknum aparat itu bisa dikategorikan sebagai upaya penghalang-halangan tugas jurnalistik. Dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Pers menyebutkan, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Sumut Kombes Tatan Dirsan Atmaja menyampaikan permohonan maafnya kepada jurnalis yang mendapat intimidasi. Tatan juga menyesalkan tindakan oknum tersebut. Pihaknya akan melakukan evaluasi di jajaran.
“Saya akan mengingatkan anggota dilapangan untuk bisa menjalin komunikasi dengan kawan kawan insan pers. Yang pasti ini tidak ada unsur kesengajaan,” ujar Tatan, Minggu (11/10/2020).
Untuk diketahui, kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali marak selama unjuk rasa menolak Omnibus Law di sejumlah daerah.
Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) hingga 10 Oktober 2020, ada 28 kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis saat melakukan peliputan unjuk rasa Omnibus Law. Kasus kekerasan yang paling disorot adalah pengerusakan alat, perampasan data hasil liputan dan penahanan.