Massa AKBAR Sumut berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law, Kamis (16/7/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Omnibus Law, bagi AKBAR Sumut hanya bertujuan untuk memfasilitasi kaum modal. Baik nasional atau pun internasional. Indonesia yang sejatinya sebagai Negara berkembang, sejak berjalannya Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 lalu ternyata tidak mampu menarik negara-negara imperialis untuk berinvestasi. Melainkan telah terjebak pada pembangunan infrastruktur yang menelan banyak anggaran tetapi tidak bisa menarik investasi.
“Hal tersebut hanya ditujukan demi melayani kepentingan modal asing untuk merampok dan menindas Rakyat Indonesia. Pemerintah bukannya fokus menangani dan memerangi pandemik COVID-19. Rezim Jokowi – Ma’ruf Amin bersama dengan DPR-RI justru berencana bergegas untuk mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi memuluskan arus modal asing untuk terus merampok Kekayaan Alam dan Manusia Indonesia,” tukasnya.
Beberapa poin yang sangat berbahaya dalam RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law adalah hilangnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat, hilangnya upah minimum dan penerapan upah kerja per jam, pengurangan pesangon bagi buruh yang ter-PHK, penerapan fleksibilitas pasar kerja dengan memperluas penggunaan sistem kontrak dan outsourching. Kemudian masifnya pembangunan industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber-sumber agraria, memberikan kesempatan bagi tenaga kerja asing (TKA) unskill untuk bekerja di alur produksi inti. Lalu hilangnya tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi rakyat, melegalkan praktik perampasan tanah rakyat, melegalkan praktik pencemaran lingkungan, hingga memasifkan praktik komersialisasi pendidikan.
Di Sumut, konflik agraria terus mencuat. Misalnya konflik eks HGU PTPN II yang tidak kunjung usai.
Sepanjang tahun 2013-2017 terjadi setidaknya 53 kasus konflik agraria di areal eksHGU PTPN II (Data KontraS Sumut 2017). WALHI Sumatera Utara mencatat, ada 32 areal kelola rakyat di Sumatra Utara masih berkonflik yang berkepanjangan dengan perkebunan, dan sangat rentan akan terjadinya perampasan atau penggusuran, paling banyak konflik terjadi adalah dengan PTPN II. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat di Sumatra Utara, ada 23 konflik Agraria telah terjadi di sepanjang tahun 2019 lalu.