Konferensi Nasional bertema “Jaminan Perlindungan Hak Perempuan Dan Anak Dalam RKUHAP 2025” di Gedung Peradilan Semu, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Dok. Istimewa)
Hal ini selaras dengan pernyataan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dr. Mahmul yang menegaskan bahwa hukum tidak hanya sebuah instrumen yang mengikat, tetapi juga harus mampu menegakkan keadilan dengan memanusiakan manusia.
Menurutnya, kegiatan ini menjadi penting sebagai ruang diskusi untuk merumuskan rekomendasi-rekomendasi positif bagi pembentukan hukum di Indonesia agar lebih adil, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat khususnya kelompok rentan.
Pada Konferensi Nasional ini turut dilaksanakan sesi Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU). MoU ini dilakukan antara ASPERHUPIKI, Fakultas Hukum Sumatera Utara, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Indonesia, serta Persada Academy dalam rangka memperkuat kolaborasi dan implementasi perlindungan hak perempuan dan anak dalam konteks hukum acara pidana.
Konferensi ini menghadirkan berbagai narasumber ahli dan tokoh penting untuk membahas capaian serta tantangan perlindungan perempuan dan anak dalam RKUHAP yang baru.
Diawali dengan penyampaian keynote speech dari Ketua Umum ASPERHUPIKI Fachrizal Afandi, yang menegaskan pentingnya memperhatikan kerentanan dalam penegakan hukum yang diatur dalam RKUHAP.
"RKUHAP harus mampu menjawab berbagai kekurangan yang selama ini membuat perempuan dan anak rentan menjadi korban diskriminasi dan kekerasan dalam sistem peradilan pidana,” ujarnya.
Dia menilai, saat ini hukum di Indonesia masih cenderung berfokus pada penegakan hukum terhadap laki-laki tanpa memperhatikan hak-hak yang melekat pada tindak pidana yang dilakukan oleh perempuan yang seharusnya tidak boleh diabaikan. Padahal, hukum acara pidana sejatinya dirancang sebagai instrumen untuk membatasi kewenangan aparat agar terhindar dari abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) serta memastikan keadilan berjalan secara proporsional.
Hal ini juga ditekankan oleh Dr. Beniharmoni Harefa yang menyampaikan bahwa RKUHAP perlu penyempurnaan, khususnya terkait perlindungan anak dan perempuan. Meskipun, beberapa aspek sudah mulai mengakomodasi prinsip restorative justice.
Menurutnya, penyempurnaan ini sangat penting agar sistem peradilan pidana di Indonesia benar-benar responsif terhadap kelompok rentan dan tidak hanya menitikberatkan pada penghukuman semata, tetapi juga pada perlindungan dan pemulihan korban.