Sudarto menjelaskan pada tahun 2012, ada sekitar 1.000 pabrik rokok yang tergabung dalam FSP RTMM SPSI. Namun pada tahun 2018, sebanyak 544 pabrik rokok dikabarkan tutup. Yang tersisa hanya 456 pabrik.
"Dari jumlah tersebut, andaikan masing-masing pabrik memiliki rata-rata pekerja 200 orang, artinya ada 108.800 orang terlah kehilangan pekerjaan. Itu masih pabrik yang terdaftar sebagai anggota RTMM, belum di luar anggota," ungkapnya.
Menurutnya, tantangan tahun ini bakal jauh lebih berat dihadapi para pelaku IHT. Pasalnya ada tiga realitas saat ini.
Pertama, kenaikan cukai yang tinggi, padahal produksi menurun dan maraknya rokok gelap. Kedua, pandemik COVID-19 tentunya berdampak pada turunnya pembelian, bahkan pengeluaran meningkat karena menyediakan APD pekerja. Ketiga adalah Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJM Nasional Tahun 2020-2024.
"Yang kita soroti adalah turunan RPJMN yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 yang akan simplifikasi dan menaikkan cukai untuk 2021. Itu menjadi tekanan dan ancaman bagi kami. Nantinya kenaikan cukai yang begitu tinggi dapat menurunkan produksi di IHT, serta bisa mengakibatkan maraknya rokok gelap," ungkapnya.
Menurutnya, tiga tekanan yang terjadi 2020 suka tidak suka dampaknya ke pekerja, turunnya kesejahteraan atau PHK, termasuk kondisi yang baru-baru ini terjadi.
Ia secara tegas menyampaikan pihaknya tidak setuju dan menolak adanya kenaikan cukai rokok yang eksesif dan menolak harga jual eceran (HJE) rokok yang ekstrem. Dia menginginkan adanya kebijakan cukai yang menjamin masa depan pekerja di sektor IHT.
Iapun berharap pemerintah tidak membuat kebijakan atau peraturan yang langsung atau tidak langsung menghambat dunia usaha IHT. “Kami menginginkan, seluruh pemangku kepentingan di dunia usaha IHT dilibatkan dalam merencanakan, mengkaji dan memutuskan kebijakan atau aturan yang menyangkut IHT, seperti RPJMN ini, dan turunannya PMK Nomor 77 Tahun 2020,” kata Sudarto.