Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang pekerja di smelter peleburan PT Timah di Mentong (IDN Times/Doni Hermawan)
Seorang pekerja di smelter peleburan PT Timah di Mentong (IDN Times/Doni Hermawan)

Bangka, IDN Times- Di daratan Bangka, jejak-jejak penambangan timah tak kalah nyata dari di laut. Lubang-lubang menganga dan lahan gersang menjadi saksi bisu eksploitasi masa lalu. PT Timah Tbk, grup MIND ID berikhtiar menyulap bekas-bekas tambang itu menjadi oase kehidupan yang menyelamatkan ekologi. Melestarikan keanekaragaman hayati hingga budaya di tanah Bangka.

Dari Pangkalpinang, ibu kota Bangka Belitung, hanya 35 menit perjalanan darat dengan jarak tempuh 21,6 kilometer menuju lokasi bernama Kampoeng Reklamasi Air Jangkang. Kawasan seluas 36,6 hektare di Desa Riding Panjang, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka Tengah ini dulunya adalah lahan tandus bekas tambang.

Namun, pemandangan pada Jumat, 17 Oktober 2025 itu jauh berbeda. Suasana asri langsung menyambut, dipenuhi lebih dari 30 ribu bibit pohon kayu putih, sagu, cemara, hingga aneka tanaman buah seperti jambu, sirsak, mangga, kelapa, jeruk, dan durian. Tanaman sayur hidroponik pun tumbuh subur.

Kampoeng Reklamasi tak sekadar hutan buatan. Ia adalah ekosistem terpadu yang dikelola oleh PT Timah Agro Manunggal (TAM), anak perusahaan PT Timah. Di sini, peternakan sapi, kuda, kambing, bebek, dan ayam hidup berdampingan. Budidaya perikanan darat dengan sistem bioflok juga berkembang pesat, menghasilkan nila, lele, dan patin.

Danau bekas tambang yang luas, dengan air hijau bening, kini memanjakan mata, mengundang pengunjung untuk mengayuh kano atau berfoto di dermaga kayu yang estetik. Sebuah rumah panggung khas Melayu dari kayu berdiri kokoh, menawarkan tempat bersantai sambil menikmati hidangan khas Bangka.

Pengunjung juga bisa menjelajahi kawasan dengan motor ATV (motor beroda empat). Biasanya lokasi ini dikunjungi pelajar hingga mahasiswa. Terutama yang melakukan praktik penelitian. Ada pula wisatawan dari lokal dan luar.

Mahmud, warga lokal yang dilibatkan sebagai pekerja di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang (IDN Times/Doni Hermawan)

Cerita Kampoeng Reklamasi Air Jangkang dimulai sembilan tahun silam. Pascaberakhirnya tambang di area ini tahun 2005, PT Timah pun menghijaukannya kembali dengan program yang dimulai tahun 2016.

Konsep edu-ecotourism dikembangkan dengan mengintegrasikan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, penelitian yang membuatnya jadi konsep wisata yang menarik. Kampoeng Reklamasi Air Jangkang kemudian diresmikan 26 Desember 2019.

Warga lokal pun dilibatkan sebagai pekerja. Bahkan bekas penambang ilegal kemudian bergabung untuk membantu ikut mengembangkan kawasan ini. Salah satunya Mahmud. Pria 62 tahun ini sudah 9 tahun bekerja di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang ini.

“Saya kerja di sini tahun 2016. Dulu lahan ini masih gersang, habis bekas tambang. Kemudian saya coba disuruh menanam sayur. Saya bawa bibit sendiri dari rumah. Pertama coba menanam kangkung. Ternyata bagus, subur tumbuhnya. Kemudian saya disuruh menanam sayur bayam, sawi, cabai, jagung, jambu, sawo berhasil semua. Itulah kemudian saya diajak bekerja di sini,” kata Mahmud mengenang saat dirinya bergabung.

Sebelum menghijau seperti sekarang, Mahmud mengakui lahan bekas tambang ini sangat gersang. Bukan hal mudah membuat lahan tandus itu bisa kembali subur hingga ditanami berbagai jenis tanaman. Caranya dengan menggali lubang dulu, kemudian dikasi tanah humus, kompos, dan tanam bibitnya.

“Kalau dulu gersangnya ini enggak ada tanaman apa-apa. Cuma alang-alang. Gersang semua ini. Setelah ada penghijauan di sini, baru kelihatan subur,” jelas Mahmud.

Sebelum bekerja di sini, warga Desa Jurung itu mengungkap jika dirinya sempat ikut menambang di lahan bekas tambang dari PT Timah. Hasil tambang ditampung pengepul.

“Ya buruh tambang lah. Gali-gali bekas-bekas tambang. Ikut oranglah. Kita ambil tailing-tailing orang tambang, kita cuci. Itu pertama dulu. Kerja di sini baru nggak lagi (menambang). Sampai sekarang,” ucap Ayah dua anak itu.

Kini Mahmud bertugas untuk bagian kebersihan. Seperti membersihkan rumput. hingga perawatan tanaman. Kakek tiga cucu itu bekerja mulai pukul 07.30 WIB sampai 16.30 WIB. Setelah kerja di Kampoeng Reklamasi Air Jangkang ini kehidupan Mahmud mulai membaik. Dia bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Tentunya dengan lebih nyaman dan aman, tidak ilegal seperti sebelumnya.

“Alhamdulillah setelah kerja di sini, sampai sekarang penghasilan cukup, Pak, untuk keluarga. Beberapa teman juga bekerja di sini. Dulu sekitar belasan orang, tapi waktu ada pengurangan karyawan, jadi tinggal berapa orang di sini,” ucapnya.

Konservasi penyelamatan satwa liar

Buaya muara yang menghuni PPS Alobi, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung (IDN Times/Doni Hermawan)

Di dalam area Kampoeng Reklamasi Air Jangkang ini berdiri pula konservasi penyelamatan satwa liar. Konsepnya bukan kebun binatang yang bisa dikunjungi masyarakat dengan bebas. Soalnya hewan-hewan di sini memang akan dilepasliarkan ke alam kembali.

Dengan luas seluas 4,5 hektare di dalamnya, lahan ini dikelola Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Alobi, sebuah lembaga yang fokus pada konservasi.

Saat memasuki area ini, suara-suara beraneka satwa seakan menyambut seperti masuk ke hutan. Manajer PPS Alobi Endi Riyandi Yusuf mengatakan mereka dipercaya PT Timah untuk program rehabilitasi satwa sejak 2018. Selain itu juga ada kerja sama dengan pemerintah.

"Fungsi utama pusat ini adalah untuk merehabilitasi satwa hasil penegakan hukum, hasil serahan masyarakat, maupun satwa sitaan yang dilindungi undang-undang. Kami di Alobi bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Kementerian Kehutanan untuk menjalankan pusat ini, yang perizinannya langsung dari kementerian,”kata Endi.

Endi menjelaskan, program ini merupakan upaya PT Timah untuk menjaga keanekaragaman hayati di Pulau Bangka. Kemitraan sudah berjalan tujuh tahun.

"Alobi sendiri berdiri sejak 2013, dan sejak 2018 kami mulai bermitra dengan PT Timah. Sampai tahun 2025 ini, kami sudah berhasil merehabilitasi dan melepasliarkan ribuan satwa dari berbagai jenis," tambahnya.

Semua satwa di sini berasal dari hasil rehabilitasi. Nantinya sebagian akan dilepasliarkan atau dipindahkan ke lembaga konservasi lain. "Satwa yang tidak bisa dilepasliarkan misalnya karena terlalu jinak atau cacat akan tetap kami rawat di sini. Ada juga satwa hasil penegakan hukum yang direhab bersama BKSDA, lalu kami siapkan untuk dilepas ke alam,” tambahnya.

Total ada lebih 100 satwa dikonservasi di sini. Beberapa satwa endemik yang ada di sini antara lain Kukang Bangka, hingga Mentilin atau Tarsius. Ada pula Binturong sejenis musang besar, Rusa Sambar, Buaya Muara, dan banyak lainnya.

"Binturong, misalnya, adalah jenis musang terbesar di Indonesia, dan dilindungi undang-undang. Bangka memiliki satwa endemik, salah satunya kukang bangka atau slow loris bangkanus, spesies yang hanya ada di sini. Selain itu, ada juga Tarsius salah satu primata terkecil di dunia, dan satu-satunya primata yang murni karnivora. Makannya serangga, belalang, dan hewan kecil,” bebernya.

Tarsius atau Mentilin, primata terkecil yang merupakan hewan endemik Bangka Belitung di PPS Alobi (IDN Times/Doni Hermawan)

Siang itu, Endi menunjukkan Tarsius di dalam sebuah kandang. Primata ini bersembunyi di balik daun. Butuh waktu lebih dari 5 menit, sampai IDN Times menyadari posisi Tarsius dengam matanya yang bulat besar. "Hewan ini gampang stres, apalagi jika melihat manusia," ungkapnya.

Menurutnya konservasi harus merujuk pada area asal hewan tersebut. Tidak bisa sembarangan dilepasliarkan."Kalau kami melepas satwa, harus di kawasan konservasi seperti taman nasional atau Tahura (Taman Hutan Raya). Satwa juga harus dilepas di habitat asalnya. Misalnya satwa asal Bangka, ya dilepas di Bangka tidak boleh dibawa keluar,” ungkapnya.

Proses pelepasliaran tidak bisa langsung dilakukan. Tim PPS Alobi harus memastikan kondisi fisik dan psikis satwa siap, serta habitatnya aman.

"Ada tim dokter hewan dan asesmen khusus. Salah satu indikator satwa sudah kembali liar adalah ketika ia takut atau menghindari manusia. Secara fitrah, satwa liar seharusnya tidak mendekat manusia. Kalau masih jinak atau insting liarnya hilang, dia tidak bisa dilepas. Nanti justru datang ke manusia dan berpotensi konflik,” tambah Endi.

Konflik antara manusia dan satwa terjadi karena habitat. Satwa hanya melintasi area yang biasa mereka lintasi tanpa tahu ada perubahan seperti menjadi pemukiman manusia.

"Kenapa ada konflik seperti serangan harimau atau buaya? Karena habitat mereka rusak. Harimau misalnya, punya jalur alami yang mereka lalui seumur hidup. Kalau jalurnya jadi kebun atau rumah, dia akan tetap lewat situ, lalu muncul konflik,” ucapnya.

Seperti di Bangka, konflik manusia dengan buaya salah satu yang disorot. Bangka bahkan termasuk wilayah dengan konflik buaya tertinggi di dunia. "Ini sulit diatasi karena habitatnya makin sempit. Kami di Alobi juga berupaya memberikan edukasi bahwa semua jenis buaya tidak boleh dibunuh, karena empat dari tujuh spesies buaya di Indonesia dilindungi, termasuk buaya muara yang paling agresif dan paling berbahaya di dunia,” ucapnya.

Endi kemudian membawa IDN Times menyambangi tempat Buaya Muara. Lokasinya dibuat seperti sungai. Salah satu buaya dinamakan Joni. “Itu salah satu yang terbesar,” kata Endi sambil menunjuk seekor buaya yang menampakkan sedikit kepalanya dari air.

Masyarakat harus tahu pentingnya rantai ekosistem. Hilangnya satu jenis satwa bisa menyebabkan ketidakseimbangan. “Misalnya, kalau predator seperti ular hilang, populasi tikus meningkat, lalu sawah diserang hama.Satwa liar itu penjaga keseimbangan ekosistem. Mereka pengontrol populasi. Bahkan buaya, biawak, dan ular saling mengatur populasi satu sama lain,” bebernya.

Program konservasi satwa ini harusnya menjadi role model untuk perusahaan tambang lainnya. Selain merehabilitasi lahan, satwa juga menjadi bagian dari ekosistem yang harus dipulihkan.

“Kami berharap pola kerja sama seperti ini bisa ditiru perusahaan tambang lain. Selama ini CSR (Corporate Social Responsibility) sering fokus pada manusia sekolah, infrastruktur, atau masyarakat terdampak. Padahal yang paling terdampak dari kegiatan tambang justru satwa liarnya. Jarang sekali ada perusahaan yang benar-benar memikirkan satwanya. Alobi bersama PT Timah adalah contoh bagaimana tanggung jawab sosial bisa diterapkan untuk konservasi satwa dan keanekaragaman hayati,”ucapnya.

Budaya Orang Lom, warisan yang tak boleh punah

Kampung Adat Gebong Memarong hunian masyarakat adat Mapur (IDN Times/Doni Hermawan)

Upaya mewujudkan pertambangan berkelanjutan PT Timah Tbk juga tak hanya soal pemulihan alam, tapi juga manusia yang bermukim di dalamnya. Hal itu tak bisa dilepaskan dari jejak sejarah di masa lalu. Keberadaan masyarakat adat tak bisa dikesampingkan dalam perjalanan Pulau Bangka dengan industri pertimahannya.

Di Bangka, bermukim masyarakat adat yang menamai dirinya Urang Lum atau Orang Lom, atau disebut juga masyarakat adat Mapur. Lokasinya ada di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, Kecamatan Belinyu.

“Kami ini urang (orang) Lom, bukan suku. Dari kata belom. Artinya belum. Belum beragama, tapi masih memegang ajaran leluhur. Dulu orang bilang Lom itu karena kami belum ikut agama luar, masih ikut ajaran nenek moyang. Tapi sekarang sudah campur. Di kampung ini ada yang Islam, ada yang Kristen, ada juga yang masih adat. Semua rukun,” ujar Djohan, salah satu warga Mapur, 17 Oktober 2025 lalu.

Konon mereka adalah suku tertua di Bangka. Orang Lom turut berperan dalam peperangan melawan penjajah Belanda hingga Jepang. "Di Bangka, kami tertua. Ada Pulau Bangka, ada orang Lom. Bangka ini disebut Bangkai. Kalau orang bilang kalau Pulau Bangka ini tenggelam yang lain rata dengan tanah," kata Djohan.

Ia mengisahkan, kampung ini baru dibentuk sekitar tahun 1975. Sebelumnya urang Lom tinggal dan tersebar di dalam hutan-hutan yang ada di Pulau Bangka. Ada gebong atau kampung kecil dalam rimba.

“Ada Gebong Benak, Gebong Duku, Gebong Kejuji, Gebong Gunung. Itu orang adat semua di pedalaman hutan. Sejak tahun 1975 baru dibangun kampung ini, pemerintah buat rumah 75 unit. Makanya disebut rumah tujuh lima,” kata Djohan.

Dia menceritakan jalan di sini hanya tanah merah belum aspal. Listrik bahkan masuk tahun 2013 bersamaan dengan jalan diaspal. “Sebelum itu, kami pakai lampu colok. Sekarang sudah bagus,” bebernya.

Masyarakat Mapur berpenghasilan dari berkebun. Mereka menanam berbagai tanaman termasuk untuk obat. “Kami masih berkebun. Menanam padi, jahe, kencur, tanaman obat seperti julo antet, gelen putih, dan pelawan. Kalau sakit perut, kami rebus daun gelen putih dan julo antet. Itu obat dari hutan,” ucap pria yang akrab disapa Bukim itu.

Ada beberapa tradisi dari masyarakat adat Mapur. Salah satunya Nujuh Jerami. Ini bentuk rasa syukur terhadap hasil panen. Para warga adat kumpul bareng dan makan bersama setahun sekali.

“Kalau ada orang meninggal, kami buat Namak. Itu upacara mengantarkan roh leluhur ke surga. Ritual ini cuma boleh dilakukan tiga bulan dalam setahun bulan empat, lima, enam penanggalan Cina. Kalau orang adat meninggal di luar bulan itu, kuburannya baru boleh dibuat setelah empat tahun. Itu adatnya, tidak bisa diubah,” ucapnya.

Selain itu masyarakat adat memercayai dukun adat. Mereka menyebutnya pawang atau tetua. "Mereka tahu pantangannya, tahu kapan hari baik. Kadang juga buat ritual kalau ada orang sakit berat, supaya sembuh," tambahnya.

Satu yang dipercaya masyarakat adat Mapur adalah keterikatan manusia dan alam. Maka, manusia harus menjaga alam sesuai pesan para leluhur. "Kehidupan kami dari alam, kami percaya dengan alam," ucapnya.

Orang Lom sebelumnya punya rumah adat yang disebut Memarong. Rumah adat ini sudah lama punah seiring dengan modernisasi di Bangka. PT Timah kemudian datang dan membangunkan tujuh rumah dinamai Kampung Adat Gebong Memarong dan Bubung Tujuh pada tahun 2021. Itu sesuai cerita legenda dari para leluhur soal tujuh rumah dari alam ghaib.

“Rumah ini kami bangun sendiri dulu, dari bahan kayu hutan. Tahun 2019 PT Timah datang. Mereka dengar cerita kami, lalu bantu bangun rumah adat dan fasilitas selesai dibangun pada tahun 2022 Sekarang sudah jadi tempat wisata dan pusat edukasi. Banyak tamu datang dari luar Bangka,” ungkapnya.

Bentuknya seperti rumah panggung dengan alas kayu dari pohon ibul atau nipung dan atap nipah. Luas rumah hanya 5x5 meter dan tinggi panggungnya 1,5 meter. Sementara dindingnya dari kulit kayu kelukup atau kulit kayu betor.

Kawasan ini kemudian dijadikan tempat wisata untuk seni dan budaya. PT Timah kemudian menyerahkan pengelolaannya ke masyarakat adat Mapur. Mereka menyediakan berbagai paket wisata. Bahkan bisa menginap di rumah Bubung Tujuh.

Kampung Adat Gebong Memarong dibuka untuk umum sebagai salah satu upaya untuk melestarikan adat istiadat dan budaya masyarakat adat Mapur. Program ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk mempelajari dan mengenal lebih dalam tentang kearifan lokal yang telah ada sejak lama.

“Banyak yang datang, terutama siswa-siswa sekolah. Kadang seminggu dua kali, bisa 50 orang. Pernah sampai 700 orang ke sini, sampai gak muat di sini. Mereka belajar tentang sejarah dan adat kami. Kalau kegiatan edukasi bayar Rp10 ribu, kalau cuma mau foto-foto Rp5 ribu,” kata pria yang sehari-hari bertani itu.

Untuk pengembangan skill, masyarakat adat juga mendapat bantuan alat tenun. Para ibu-ibu menenun dan mendapat pelatihan dari PT Timah. Hasil kerajinan tangan itu dipajang di salah satu rumah adat dan turut dijual untuk para pengunjung. Ada juga pelatihan batik ecoprint, dan pelatihan pemandu lokal untuk meningkatkan kemandirian ekonomi mereka dalam bidang pariwisata.

Beberapa perwakilan orang Lom juga diberangkatkan untuk studi banding ke masyarakat adat lain. “Sebelumnya Timah memberangkatkan kami menemui Suku Baduy. Menginap semalam di Baduy luar dan semalam lagi di Baduy Dalam,” katanya.

Selain itu, PT Timah juga memberikan dukungan hukum kepada masyarakat adat dengan membantu pengesahan melalui notaris, seperti pengesahan Akta Pendirian Perkumpulan Lembaga Adat Mapur, Akta Pendirian Yayasan Gebong Mamarong Mapor, Pengajuan Nama Yayasan, dan Pengajuan Nama Perkumpulan.

Pada Mei 2024, PT Timah dan Perkumpulan Lembaga Adat Mapur telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama (NKB) tentang Program Pelestarian Kebudayaan. PT Timah juga aktif berkomunikasi dengan masyarakat terkait pembukaan tambang, penggantian lahan, memelihara budaya adat setempat, menetapkan lokasi relokasi hunian dan mata pencaharian, serta merealisasikan program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL).

Dampak penambangan untuk aspek ekonomi yang baru

Pemandangan bekas lokasi tambang di Bangka dari pesawat udara (IDN Times/Doni Hermawan)

PT Timah Tbk memang berusaha menerapkan good mining untuk pertambangan dengan program-program reklamasi, konservasi hingga pemberdayaan masyarakat ini. PT Timah fokus mengaplikasikan kerangka strategis ESG yang telah disusun oleh MIND ID yang disebut dengan Sustainability Pathway dengan 6 (enam) pilar dan 27 topik ESG. Enam pilar itu adalah Environment and Climate Change, Smart Operation and Product Stewardship, Peope, Society, Economic Development, dan Governance.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Rendi Kurniawan mengatakan seluruh rencana reklamasi yang dilakukan sudah berdasarkan dokumen yang di setujui oleh Kementerian ESDM. Dia melihat bekas wilayah tambang harusnya bisa digunakan untuk memberi aspek ekonomi.

“Di sini beberapa eks wilayah penambangan, kolong (kubangan membentuk seperti danau) bekas penambangan dijadikan sumber air baku PDAM. Rata-rata bukan digali sendiri. Seperti kolong bekas penambangan, kita tidak melihat mindset-nya harus ditutup. Bagaimana justru memberikan manfaat yang jauh lebih besar sehingga bisa menggunakan impact dari penambangan itu untuk aspek ekonomi yang baru,” kata Rendi, Sabtu (18/10/2025).

Dari laporan keberlanjutan PT Timah, total luasan rencana reklamasi tahun 2024 yang tertuang di dalam Dokumen Rencana Reklamasi baik di darat maupun laut adalah seluas 396,5 Ha. Namun, berdasarkan rencana reklamasi di tahun 2024, terdapat sekitar 341,14 Ha belum direhabiltasi dari rencana yang ditetapkan sejak 2015 sampai 2024 yaitu sebesar 3.611,89 Ha.

Sepanjang tahun 2024, Perseroan telah merealisasikan biaya reklamasi sebesar Rp13.789.733.587. Pengelolaan lingkungan dalam bentuk reklamasi yang telah disusun per 2015 - 2024 yaitu 3.611,89 Ha.

Reklamasi tambang darat yang PT Timah lakukan dengan metodologi revegetasi dengan sistem pot. Sepanjang tahun 2024, PT Timah telah mencapai rencana reklamasi sebesar 89,20 persen. Sedangkan untuk TJSL, tahun 2024 perusahaan mengalokasikan Rp53,1 milliar dari target Rp92,6 miliar.

Program-program itu membuat PT Timah kini sudah mengoleksi 2 proper hijau dan 7 proper biru dari Kementerian Lingkungan Hidup. Komitmen dalam penerapan ESG juga mendapat apresiasi lain di tingkat nasional. Pada 12 November 2025, PT Timah baru saja meraih penghargaan Indonesia ESG Leadership Awards (IELA) 2025 untuk kategori Leadership AAA Indonesia’s Leader in ESG Transparency yang diselenggarakan oleh Bumi Global Karbon Foundation (BGK Foundation).

Ajang ini digelar untuk memberikan apresiasi kepada perusahaan yang menunjukkan kepemimpinan, konsistensi, serta transparansi dalam penerapan prinsip ESG, sekaligus menjadi wadah kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat tata kelola berkelanjutan di Indonesia.

Kepala Bidang Komunikasi PT Timah Anggi Siahaan menegaskan, penambangan PT Timah berbeda dengan penambangan lain. Sejak awal sudah mengusung spirit reklamasi. PT Timah menunjukkan bahwa pertambangan dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan, bahkan saling menguatkan

“Sebelum regulasi terkait reklamasi ada, PT Timah sudah melakukan itu. Secara spirit penambangan terintegrasi sudah jadi spirit PT Timah dari dulu. Harus ada pembeda penambangan yang dilakukan PT Timah Tbk dan pertimahan itu sendiri,” pungkas Anggi.

Editorial Team