Shelter NGO Akar Bhumi Indonesia di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Masih kata Hendrik, kehilangan area mangrove ini menurutnya merupakan sebuah pukulan berat bagi pemerintah pusat, yang selama ini berupaya keras untuk meningkatkan luasan hutan mangrove di Indonesia, termasuk di Kota Batam.
Kota Batam, yang pernah memiliki luas hutan mangrove mencapai 18.335 hektare pada tahun 2022, kini menghadapi tantangan serius dalam pelestarian mangrove.
“Pengerusakan yang dilakukan oleh PT Tunas Makmur Sukses semakin menambah panjang daftar permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh kota ini, termasuk isu maraknya reklamasi ilegal dan jalur perdagangan arang yang berasal dari kayu bakau,” ujarnya.
Situasi ini semakin diperparah dengan ketidakhadiran Walikota Batam dalam pemanggilan oleh komisi IV DPR RI pada tanggal 29 Agustus 2023 lalu yang seharusnya membahas isu-isu kritis ini.
“Kegagalan pemerintah daerah dalam menangani masalah lingkungan di Batam semakin menegaskan urgensi perlunya tindakan tegas dan cepat untuk menghentikan kerusakan ekosistem pesisir di Batam,” tegasnya.
NGO Akar Bhumi Indonesia mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi kerusakan hutan mangrove di Kota Batam.
Selain itu, ia meminta agar pemerintah memastikan bahwa semua pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Kota Batam dapat dihadapkan pada proses hukum yang adil dan transparan.
“Keseimbangan ekologi dan keberlanjutan lingkungan harus menjadi prioritas bagi semua pihak, demi masa depan Kota Batam dan generasi yang akan datang,” tutupnya.