Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMGM0675.jpg
Ilustrasi polisi melakukan penanganan massa unjuk rasa. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Intinya sih...

  • Reformasi Polri masih mandek, belum ada perbaikan signifikan

  • Kekerasan dan impunitas masih jadi watak yang mengakar

  • Netralitas polisi menjadi sorotan kritis

Medan, IDN Times - Tanggal 1 Juli 2025 menandai peringatan Hari Bhayangkara ke-79. Polri merayakannya dengan semarak. Namun, di balik hingar-bingar seremonial perayaan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mengingatkan publik agar tidak melupakan berbagai persoalan mendasar yang masih melekat dalam tubuh institusi kepolisian.

Dalam catatan kritisnya, KontraS Sumut menyoroti sejumlah isu penting mulai dari mandeknya reformasi, kultur kekerasan yang terus terjadi, hingga rusaknya netralitas polisi akibat isu politik.

 

1. Reformasi Polri masih mandek, belum ada perbaikan signifikan

Ilustrasi polisi melakukan penanganan massa unjuk rasa. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Meski wacana revisi Undang-Undang Polri sempat memunculkan harapan akan percepatan reformasi, KontraS Sumut justru menilai proses ini tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, mereka melihat ada indikasi revisi yang justru memperluas kewenangan polisi tanpa memperbaiki aspek-aspek fundamental yang selama ini dikritik.

Data Komnas HAM setiap tahun selalu mencatat kepolisian sebagai institusi yang paling banyak diadukan ke lembaga tersebut (663 aduan di tahun 2024).

“Data tersebut bisa jadi indikator sederhana bahwa polisi masih gagal mereformasi diri,” ujar Kepala Operasional KontraS Sumut Adinda Zahra Noviyanti dalam keterangan resminya, Selasa (1/6/2025).

2. Kekerasan dan impunitas masih jadi watak yang mengakar

Ilustrasi polisi melakukan penanganan massa unjuk rasa. (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS Sumut juga menyoroti praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, mulai dari penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, hingga penggunaan kekuatan secara berlebihan. KontraS mencatat bahwa dalam periode Juli 2024–Juni 2025, ada 17 kasus dugaan penyiksaan di Sumut, dan 8 di antaranya dilakukan oleh polisi.

“Tindakan tersebut dilakukan dengan akuntabilitas dan pertanggungjawaban yang minim, sehingga melahirkan kultur impunitas. Kultur kekerasan semakin langgeng, tumbuh subur dan sulit dihilangkan,” kata Adinda.

3. Netralitas polisi menjadi sorotan kritis

Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selain persoalan struktural dan kekerasan, KontraS juga menyoroti munculnya istilah ‘partai coklat’, yang mengacu pada dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam politik praktis, baik di tingkat nasional maupun daerah. Fenomena ini dianggap merusak netralitas institusi dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Polri.

“Sudah seharusnya Polri fokus membuktikan independensi dan netralitasnya guna mengembalikan kepercayaan publik. Menegaskan bahwa institusi ini mampu menjaga marwahnya sebagai aparat keamanan negara di tengah dinamika demokrasi yang sarat akan kepentingan politik maupun intervensi kekuasaan tertentu,” pungkas Dinda.

Bagi KontraS Sumut, Hari Bhayangkara seharusnya tidak hanya jadi ajang seremonial, tapi juga menjadi momen evaluasi menyeluruh terhadap kerja-kerja Polri. Pembenahan menyeluruh jauh lebih penting dibanding sekadar lomba, upacara, atau parade ucapan selamat.

Editorial Team