Upaya pemerintah mencegah angka golput pertama adalah melalui peraturan atau undang-undang. Larangan mengajak golput tertuang dalam undang-undang, tepatnya dalam UU 8 Tahun 2012, dimana ada beberapa pasal yang berhubungan dengan partisipasi pemilih, dan ada sekitar dua pasal yang menjelaskan ancaman bagi mereka yang mengajak orang golput.
Pasal 292: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta."
Pasal 301 ayat 3: "Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta."
Sementara dari catatan KPU, langkah penyelenggara pemilu itu dalam mencegah golput di antaranya melakukan pendekatan kepada kaum millennials, seperti mahasiswa yang menjadi pemilih pemula. KPU menggelar acara KPU Goes to Campus, untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa.
Sedangkan, untuk pendidikan pemilu sejak dini, KPU melakukan kunjungan ke Sekolah Dasar (SD). Siswa-siswi diajarkan dan dilibatkan dalam simulasi pemungutan dan penghitungan suara.
Sementara, sejumlah koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menyatakan sikap untuk tidak memilih atau menjadi golput alias golongan putih, terhadap kedua pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko 'Jokowi' Widodo-Ma'ruf Amin, dan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Sikap golput yang mereka pilih merupakan bentuk ekspresi protes atau penghukuman, seperti tidak ada satupun dari capres-cawapres dan koalisinya yang bersih dari isu korupsi, perampasan ruang hidup rakyat, tersangkut kasus hak asasi manusia (HAM), maupun aktor intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok monoritas.
Mereka menegaskan sikap golput dan bentuk mengampanyekan golput ini bukan merupakan sikap buruk, apatis, dan provokatif. Sikap ini juga bukan merupakan tindak pidana yang harus dihukum.
"Posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan pelanggaran hukum, dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Sebab, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput," ujar Direktur LBH Jakarta Arif Maulana di Kantor LBH, Jakarta Pusat, Rabu (23/1).
Jika dilihat dalam Undang-Undang Pemilu, kata Arif, memang tidak ada larangan kepada seseorang untuk tidak memilih. Begitu juga mensosialisasikan orang untuk golput.
"Ada 12 tindak pidana pemilu dalam undang-undang, tapi tidak ada satupun ancaman pidana untuk golput. Di peraturan perundang-undangan, yang ada adalah dilarang memberikan data pemilih palsu,” terang dia.
“Kepala daerah dilarang menguntungkan salah satu peserta pemilu, dilarang mengganggu jalannya pemilu, dilarang kampanye di luar jadwal, dilarang memberikan keterangan tidak benar, dan majikan dilarang menghalangi pemilih," sambung Arif.
Namun, Arif menjelaskan, golput yang dapat dipidanakan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah, yang menjanjikan seseorang atau mengeluarkan materi untuk membujuk pemilih melakukan golput.
"Yang dapat dipidana hanya orang yang menggerakan orang lain untuk golput pada hari pemilihan, dengan cara menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya. Dengan demikian, tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekadar menggerakan orang untuk golput tidak dapat dipidana," kata Arif.