Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
APARA_1.jpg
Aliansi Pejuang Reforma Agraria berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut, Rabu (24/9/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Intinya sih...

  • Petani masih jadi korban konflik agraria dan kekerasan

  • Reforma agraria hanya jadi angan-angan

  • Krisis iklim jadi beban ganda petani Sumut

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times – Setiap 24 September, Indonesia memperingati Hari Tani Nasional. Momentum ini lahir dari ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Namun, bagi banyak petani di Sumatera Utara (Sumut), peringatan ini bukan hanya soal seremonial, melainkan pengingat bahwa kehidupan mereka masih penuh ancaman.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut merilis catatan khusus terkait kondisi petani di daerah tersebut. Menurut mereka, janji reforma agraria belum benar-benar dijalankan, sementara kekerasan dan konflik agraria terus berulang dari tahun ke tahun.

1. Petani masih jadi korban konflik agraria dan kekerasan

Massa dari APARA berunjuk rasa di depan Mapolda Sumut, Jumat (22/9/2023). Mereka menuntut komitmen Polda Sumut agar tidak melakukan kriminalisasi terhadap petani dalam konflik agraria. (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS Sumut mencatat sepanjang tahun 2025 saja, sudah ada 22 kali letusan konflik agraria di Sumut. Dari konflik itu, setidaknya 55 petani menjadi korban kekerasan, baik dari aparat maupun pihak perusahaan. Data ini memperlihatkan bahwa prinsip dasar UUPA, yaitu keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, belum berjalan sebagaimana mestinya.

“Alhasil, petani bukan hanya kehilangan hak atas tanah namun juga menjadi korban kekerasan yang dilanggengkan negara. Praktik kriminalisasi terhadap petani juga masih marak terjadi. Alih-alih dilindungi, banyak petani justru dihadapkan pada jerat hukum ketika memperjuangkan tanah dan ruang hidupnya,” kata Adhe Junaedy, Staf Kampanye & Opini Publik KontraS Sumut dalam keterangan tertulis, Kamis (25/9/2025).

2. Reforma agraria hanya jadi angan-angan

Massa dari APARA melakukan unjuk rasa untuk memperingati Hari Tani Nasional, Rabu (24/9/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)/Prayugo Utomo)

Meski pemerintah sering mengklaim menjalankan reforma agraria, kenyataannya program itu tidak pernah menyentuh akar persoalan. Alih-alih memberi kepastian hak atas tanah kepada petani, negara justru kerap berpihak pada korporasi dengan menerbitkan izin konsesi baru.

Contohnya bisa dilihat di Desa Rambung Baru dan Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Lahan seluas 75 hektare yang dikuasai masyarakat tiba-tiba diambil alih PT Nirvana Memorial Nusantara tanpa dasar hak dan administrasi yang jelas.

“Kasus semacam ini menunjukkan bahwa janji reforma agraria masih sebatas wacana, bukan kebijakan nyata,” katanya.

 

3. Krisis iklim jadi beban ganda petani Sumut

Massa dari APARA berunjuk rasa di depan Mapolda Sumut, Jumat (22/9/2023). Mereka menuntut komitmen Polda Sumut agar tidak melakukan kriminalisasi terhadap petani dalam konflik agraria. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selain konflik tanah, petani di Sumut juga harus menghadapi dampak krisis iklim. Perubahan pola hujan, banjir, kekeringan, hingga gagal panen semakin memperburuk kondisi hidup mereka. Ironisnya, program adaptasi iklim yang digagas pemerintah justru dianggap merusak lingkungan.

“Proyek food estate, skema perdagangan karbon, maupun ekspansi energi skala besar kerap diklaim sebagai solusi iklim, tetapi kenyataannya justru menambah konflik baru. Misalnya dampak dari PT TPL menyebabkan banjir bandang di Simalungun dan Humbang Hasundutan yang menghancurkan lahan pertanian masyarakat,” pungkasnya.

Editorial Team