Teatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Sabtu (26/6/2021). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Salah satu yang mendapat sorotan KontraS adalah maraknya dugaan praktek penyiksaan yang terjadi didalam sel kepolisian. Bagaimana sadisnya dugaan penyiksaan dan pelecehan seksual yang dialami Hendra Syaputra di bulan November lalu bisa menjadi contoh. Tragisnya korban di siksa oleh sesama tahanan dengan perintah oknum polisi. Kasus tersebut saat ini sedang memasuki tahap persidangan.
“Kepolisian sudah memiliki beberapa aturan internal terkait pengurusan tahanan seperti Perkap 4/2005 Tentang Pengurusan Tahanan pada Rumah Tahanan Kepolisian Republik Indonesia maupun Perkap 4/2015 Tentang perawatan tahanan dilingkungan kepolisian yang seharusnya sudah lebih dari cukup menjamin pemenuhan hak tahanan sesuai dengan prinsip HAM” tegas Rahmat.
Harus diakui, proses pencarian keadilan bagi para tahanan korban penyiksaan memang cukup sulit. Selain terkendala dalam soal pembuktian, proses hukum juga memakan waktu yang tidak sebentar. Dukungan publik pun kadang tidak sepenuhnya didapatkan. Terlebih lagi terhadap tahanan dengan kasus yang selama ini jadi musuh publik.
Sulitnya pencarian keadilan menyebabkan korban menjadi putus asa dan kehilangan semangat. Itu sebabnya opsi perdamaian sering jadi pilihan instan yang diterima pihak korban. Proses hukum yang harusnya diberikan kepada pelaku tidak tercapai. Konsekuensinya, tidak ada efek jera dan kasus-kasus serupa justru kembali bermunculan” imbuhnya.
Catatan situasi penyiksaan di Sumatera Utara dalam satu tahun terakhir ini semakin kelam dengan temuan kerangkeng manusia di Rumah Bupati Langkat Non Aktif, Terbit Rencana Perangin-angin. Peristiwa ini semakin membuka mata publik bahwa aktor penyiksaan bukan hanya aparat keamanan saja, tetapi juga potensial dilakukan, diprakarsai oleh pejabat publik lain.
“Kerangkeng manusia Langkat merupakan laboratorium penyiksaan, perbuatan merendahkan harkat martabat kemanusia, dan merenggut hak hidup seseorang pula, eksisnya kejahatan kemanusiaan yang dibalut motif pembinaan adalah suatu bukti bahwa afiliasi kekuasan telah melanggengkan praktek tersebut,” pungkasnya.
Rahmat menekankan, proses hukum atas kasus kerangkeng harus berjalan secara professional dan transparan. Keseriusan mengusut tuntas kasus ini bisa menjadi satu contoh positif bagaimana Negara mampu berlaku tegas dalam mengungkap kasus-kasus penyiksaan. Selain itu, ia memandang penuntasan kasus kerangkeng manusia bukan hanya diprioritaskan dari sisi penegakan hukum saja, tapi juga harus menggunakan perspektif perlindungan dan pemulihan hak-hak korban.
“Bayangkan sejak kerangkeng manusia Langkat berdiri pada tahun 2012 diduga Ada 600- an orang yang diduga menjadi korban penyiksaan dan perbudakan, dimana 6 diantara diketahui meninggal dunia. Artinya ini bukan cuma cerita menghukum pelaku, tapi juga bagaimana memenuhi hak korban” Tambah Rahmat
Rahmat berharap, di tengah situasi penyiksaan yang semakin mengkhawatirkan, masyarakat sipil mulai memberikan atensi besar atas praktek penyiksaan. Mengubah cara pandang bahwa menyiksa bukanlah solusi penegakan hukum yang mampu mengurangi praktek kejahatan. kampanye Anti penyiksaan bukan berarti kita mendukung para pelaku kejahatan. Tapi lebih kepada proses hukum yang dijalankan haruslah sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. Sebab, dari pengalaman banyak kasus, penyiksaan dan penggunaan kekuatan justru menyasar pada rekayasa kasus, salah tangkap dan penghukuman sepihak.
“Yang harus diperbaiki adalah Criminal Justice System kita, mulai dari hulu di kantor polisi hingga hilirnya di lembaga pemasyarakatan. Barulah penegakan hukum dan langkah meminimalisir kejahatan bisa berkurang” imbuhnya.