Medan, IDN Times –Keberadaan kapal pembangkit listrik Marine Vessel Power Plant (MVPP) membuat Sumatera Utara tidak lagi mengalami defisit tenaga listrik sejak tahun 2017. Namun kapal sewaan dari Turki tersebut ternyata bukan solusi permanen.
Kapal MVPP hanya disewa selama 5 tahun. Selain biaya sewanya mahal, mencapai Rp6 Triliun per tahun, setelah kontrak habis 2022 maka Sumut akan kembali mengalami defisit listrik.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah menyiapkan solusi. Dengan Program Nasional 35.000 Megawatt (MW), satu pembangkit listrik yang akan dibangun untuk mengatasi defisit listrik di Sumut adalah PLTA Batang Toru.
Bagaimana progres pembangunannya saat ini? Akankah selesai sebelum kapal MVPP kembali ke Turki?
Pembangunan dan pengembangan PLTA Batang Toru adalah hasil kolaborasi PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) dengan Universitas Sumatera Utara (USU) dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kini tahap pembangunannya baru mencapai 11 persen.
Rencana pembangunan PLTA Batangtoru, proyek energi terbarukan berbasis sumber daya air, di Sumatera Utara dinilai mampu mengatasi masalah defisit ketenagalistrikan di provinsi tersebut bila kontrak kapal pembangkit listrik yang disewa dari Turki tidak diperpanjang pada 2022.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan, selain bisa menghemat APBN hingga Rp6 triliun per tahun, proyek ramah lingkungan ini merupakan solusi untuk mengatasi krisis listrik di Sumatera Utara. Targetnya PLTA Batang Toru ini akan selesai pada 2022 bertepatan dengan berakhirnya kontrak kapal MVPP Turki.
Ia bingung dengan kampanye sebagian orang yang menyebut PLTA Batangtoru tidak dibutuhkan karena listrik Sumut dalam kondisi surplus. Pernyataan ini disebutnya menyesatkan. Surplus sebesar 160 MW yang dialam Sumut saat ini hanya bersifat sementara.
“Sumut akan kembali krisis listrik bila kontrak kapal pembangkit listrik yang disewa dari Turki tidak diperpanjang pada 2022. Kapal itu kan sifatnya bukan jangka panjang. Kita cuma mengontrak 5 tahun dan biayanya mahal,” jelasnya dalam pernyataan tertulis yang diterima IDN Times beberapa waktu lalu.
Gus Irawan mengaku cukup memahami latar belakang keberadaan kapal yang menyalurkan listrik 240 MW itu karena memang DPR yang mendorong pemerintah mendatangkannya ke Belawan.
PLN, katanya, sempat menentang usulan itu dengan alasan biaya yang terlalu mahal. Selain itu, kapal tersebut juga masih menggunakan bahan bakar batu bara yang tidak ramah lingkungan.