Ilustrasi masyarakat adat di hutan adat (commons.wikimedia.org/jisdmax)
Ketegangan tak hanya hadir di jalanan, tetapi juga di dalam ruang resmi COP30. Analisis terbaru menunjukkan 1 dari setiap 25 peserta COP30 adalah pelobi industri fosil, sebuah rekor baru yang memicu kritik keras dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO). Mereka menggelar aksi “Kick Off The Suits” sebagai bentuk penolakan terhadap meningkatnya pengaruh lobi energi kotor.
“Sangat jelas bahwa kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan memberi kekuasaan kepada mereka yang menyebabkannya. Ironis melihat pengaruh mereka semakin dalam dari tahun ke tahun, memperolok proses ini dan komunitas yang menanggung akibatnya,” kata Jax Bongon dari IBON International.
Nama Indonesia ikut tersorot. Paviliun Indonesia dikritik karena disponsori perusahaan batu bara dan nikel yang disebut punya rekam jejak konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
“Setiap ruang yang diberikan kepada industri fosil di COP adalah ruang yang direbut dari masa depan kami,” ujar Ginanjar Ariyasuta dari Climate Rangers.
Ia juga menyoroti pembangunan 26 GW PLTU captive untuk industri nikel yang disebut sebagai “transisi industri hijau,” namun justru dianggap membebani generasi mendatang.
Di meja diplomasi, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell, kembali menekankan bahwa pendanaan adalah inti transisi. “Pendanaan iklim adalah urat nadi aksi iklim. Inilah yang mengubah rencana menjadi kemajuan, dan ambisi menjadi implementasi,” ujarnya.
Ia mendesak negara maju menggandakan dana adaptasi, memperluas model hibah dan konsesi, serta menegaskan bahwa “Pendanaan iklim bukanlah amal – melainkan ekonomi cerdas,” katanya.