Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
-
Unjuk rasa masyarakat mendesak penutupan PT Toba Pulp Lestari. (Dok AMAN Tano Batak)

Intinya sih...

  • DPRD Samosir sepakat PT TPL harus ditutup total

  • Suara gereja dan rakyat bersatu demi masa depan Tano Batak

  • Dampak lingkungan nyata: air mengering, rakyat makin menderita

Medan, IDN Times - Gelombang perlawanan terhadap PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus meluas. Setelah sebelumnya DPRD Tapanuli Utara menyuarakan penolakan, kini giliran DPRD Kabupaten Samosir menyatakan dukungan penuh terhadap tuntutan rakyat untuk menutup total operasional perusahaan tersebut.

Seruan ini digaungkan dalam audiensi antara DPRD dan massa dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL (AGRT-TPL) yang digelar pada Kamis 17 Juli 2025.

1. DPRD Samosir sepakat PT TPL harus ditutup total

Anggiat Sinaga selaku Ketua Aliansi Masyarakat Gerak Tutup TPL (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Dalam laman resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyebut, Seluruh anggota DPRD Samosir sepakat bahwa operasional PT TPL harus segera dihentikan. Ketua DPRD, Nasip Simbolon, menyampaikan sikap tegas lembaganya terhadap tuntutan rakyat.

“Kami, 25 anggota DPRD Samosir, seluruhnya mendukung perjuangan bapak-ibu sekalian dan sepakat bahwa PT TPL harus ditutup segera,” tegas Nasip.

Sikap ini dipertegas Wakil Ketua DPRD, Sarhocel Tamba, yang menyoroti konsistensi lembaganya sejak tahun 2020. “Sejak 2020, kami mendukung sikap Bupati Samosir untuk menolak CSR dari PT TPL. Kami juga mengingatkan rakyat agar tidak terpecah oleh strategi lama ala Orde Baru. Ini perjuangan bersama, dan harus kita menangkan.” ungkapnya.

2. Suara gereja dan rakyat bersatu demi masa depan Tano Batak

Massa Aliansi Gerak Tutup TPL berunjuk rasa di depan Uniland Plaza, Rabu (28/7/2021). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pernyataan moral juga disampaikan Praeses HKBP Distrik VII Samosir, Pdt. Rintalori Sianturi, yang menyebut bahwa TPL adalah penyebab utama kerusakan lingkungan di kawasan tersebut.

“Yang paling banyak merusak alam Tano Batak adalah PT TPL. Suara gereja dan rakyat harus sampai ke pusat. Agar anak cucu kita bisa hidup di bumi yang diberkati ini tanpa ketakutan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur KSPPM, Rocky Pasaribu, mengungkapkan bahwa sekitar 33.000 hektare konsesi TPL di Samosir berada di atas wilayah yang tidak legal. “Sejak 23 tahun lalu, TPL beroperasi di wilayah yang seharusnya tidak boleh disentuh. Penebangan besar-besaran terjadi di sana, bahkan hingga tahun lalu,” jelas Rocky.

3. Dampak lingkungan nyata: air mengering, rakyat makin menderita

Massa Aliansi Gerak Tutup TPL berunjuk rasa di depan Uniland Plaza, Rabu (28/7/2021). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dampak keberadaan TPL dirasakan langsung oleh masyarakat. Tokoh masyarakat Pahala Tua Simbolon menyebut bahwa musim kemarau tahun ini membuat banyak desa di Samosir mengalami krisis air. “Warga harus membeli air karena sumber air mengering. Ini akibat perusakan yang terus dibiarkan. Sudah saatnya DPRD berpihak pada rakyat,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua AGRT-TPL, Anggiat Sinaga, menyampaikan pernyataan sikap yang menilai TPL sebagai simbol penjajahan modern.

“TPL adalah ancaman nyata terhadap masa depan rakyat dan lingkungan di Tano Batak. Kami menuntut pencabutan seluruh izin konsesi, penghentian operasional, dan pengembalian tanah adat kepada rakyat,” tegas Anggiat.

Ia menambahkan, perjuangan tidak akan berhenti hanya di Samosir. “Kami akan terus bergerak, dari desa ke desa, dari kabupaten ke kabupaten, sampai perusahaan perusak ini angkat kaki dari tanah leluhur kami,” pungkasnya.

Sampai saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT TPL. IDN Times sudah mencoba mengonfirmasi Head Coorporate Communication TPL Salomo Sitohang. Namun Salomo belum memberikan jawaban.

Editorial Team