Suasana kegiatan di Rumah Literasi Ranggi (Instagram @rumahliterasiranggi)
Ranggini juga menjelaskan bahwa, faktor anak yang buta huruf tapi melek digital, karena proses sekolah dan hal yang membuat murid tidak boleh tinggal kelas walaupun harusnya tinggal tapi tetap dinaikkan.
Satulagi, menurutnya penyebab anak buta huruf adalah peran orangtua atau parenting atau peran keluarga dirumah untuk peduli kepada anak-anaknya.
"Nanti orangtua suruh belajar tapi orangtuanya sendiri sibuk dengan gawainya, bersosmed, tidak peduli sama anaknya atau orangtuanya juga tidak mengerti karena masih lebih disibukkan karena mungkin keluarga prasejahtera jadi lebih disibukkan upaya mencari nafkah baik ibu ataupun bapak. Sehingga, mengurus anak tidak dipedulikan dalam pendidikan atau wawansan dan juga tidak memahami pentingnya peran orangtua pada pendidikan anak. Jadi, banyak faktor menurut saya penyebabnya gitu," terang Ranggini.
Sementara itu, di Rumah Literasi Ranggi mencoba mengisi kekosongan-kekosongan itu dengan kreatif tapi semaksimal mungkin. Sebab, masih berswadaya dan berkolaborasi sifatnya.
"Jadi, masih bekerja sama dengan pihak-pihak Universitas dan relawan-relawan dan hari ini susah mencari relawan yang royal dan punya idealisme untuk benar-benar ikut memiliki visi berbuat karena namanya relawan tidak digaji. Jadi, saya pikir ini memang menjadi tanggungjawab kita bersama. Kami Rmah Literasi Ranggi dengan segala upaya mencoba berbuat walaupun mungkin tidak bisa banyak mengurus masalah ini secara luas tapi paling tidak untuk anak-anak kami, kami upayakan.
Tidak hanya itu, di Rumah Literasi Ranggi katanya anak yang putus sekolah karena berbagai faktor misalnya karena tidak ada adminduk atau akta kelahiran, dikarenakan orangtuanya juga tidak memiliki KTP dan KK akan dibantu.
Kemudian, ada juga anak yang mengalami buli disekolahnya dan orangtuanya juga tidak peduli. Sehingga, anak tersebut tidak mau sekolah lagi. Maka, peran Rumah Literasi Ranggi mencoba membujuk dan memberi pengertian untuk anak tersebut dididik. Sehingga, anak tersebut kembali mendaftar masuk sekolah lagi.
"Ada juga karena masalah keluarga orangtuanya, bapaknya botot mamaknya di pabrik sarang walet jadi punya bayi lagi, anaknya agak besar jadi disuruh jaga adiknya sehingga tidak bisa sekolah. Hal ini menjadi kompleks masalahnya, dan inilah yang kami hadapi. Jadi, kami berusaha semaksimal mungkin. Kami berharapnya banyak pihak yang peduli, karena kami selain kekurangan Sumber Daya Manusia, kami juga kurang daya sumber ekonominya untuk mendukung proses belajar mengajar seperti ini, supaya lebih maksimal, supaya lebih efektif dan bisa menginterpretasikan lebih banyak anak lagi," pungkas Ranggini.