Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20250705_154728.jpg
Suasana kegiatan di Rumah Literasi Ranggi (Instagram @rumahliterasiranggi)

Intinya sih...

  • Dikhawatirkan anak melek digital tapi buta huruf akan beralih pada hal negatif, termasuk naik kelas tanpa bisa membaca dengan baik.

  • Rumah Literasi Ranggi mendidik anak dengan berbagai kreatifitas, mengalihkan dari gadget dan mengaitkan kegiatan literasi dengan dunia digital.

  • Beragam faktor penyebab anak tidak bisa membaca tapi melek digital, termasuk peran orangtua, proses sekolah, dan kekosongan dalam pendidikan.

Medan, IDN Times - Penggunaan gawai menjadi dua mata sisi yang berbeda, khususnya bagi para anak-anak. Di satu sisi, gawai memberikan manfaat positif seperti kemudahan komunikasi, akses informasi, dan hiburan. Namun, di sisi lain, penggunaan berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif seperti masalah kesehatan fisik dan mental, serta gangguan interaksi sosial.

Namun, yang menjadi permasalahan ketika sebagian anak yang melek dengan dunia digital, tapi buta dengan huruf. Sehingga, hal ini menjadi perhatian bagi semua kalangan. Hal ini menjadi fenomena diberbagai daerah di Indonesia.

1. Dikhawatirkan anak yang melek digital tapi tidak bisa membaca akan beralih pada hal negatif

Suasana kegiatan di Rumah Literasi Ranggi (Instagram @rumahliterasiranggi)

Ketua Rumah Literasi Ranggi, Ranggini mengakui bahwa, sebagian anak ditempatnya memang ada yang buta huruf dan melek digital. Hal ini menurutnya, sangat miris.

"Kalau yang sepengetahuan kami khususnya dilingkungan anak-anak di Rumah Literasi Ranggi, ataupun dari pertemuan kita-kita sesama penyelenggara kegiatan literasi atau sesama literasi skala di Kabupaten hingga nasional di pertemuan yang 2 kali terakhir diikuti secara nasional di Jakarta. Ternyata memang sampai hari ini miris, ada anak naik kelas terus dari SD sampai SMP," jelas Ranggini pada IDN Times.

Anak yang sulit membaca ini, ternyata disekolah tidak dipermasalahkan. Bahkan, bisa ada yang naik kelas.

Ranggini mengatakan, ada kekhawatiran dalam benaknya bahwa anak akan beralih pada hal negatif. Jika anak-anak sekarang tidak bisa membaca bagaimana dia bisa mengetahui banyak hal-hal positif untuk dirinya. Apalagi, dia melek dengan gadget atau gawai yang saat ini tidak terlepas dari barang tersebut sehingga bisa melakukan dengan hal apapun, baik positif dan negatif.

2. Rumah Literasi Ranggi didik anak dengan berbagai kreatifitas

Suasana kegiatan di Rumah Literasi Ranggi (Instagram @rumahliterasiranggi)

Strategi baginya untuk bisa mendidik anak tanpa pemakaian gadget di Rumah Literasi Ranggi ini adalah dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan positif, untuk mengalihkan mereka dari gadget.

"Tapi, sebetulnya disisi lain gadget itu sendiri kan di era digital sekarang ini justru bisa untuk positif memberikan pelajaran bagi mereka supaya lebih mudah, menarik dan efektif. Baik itu perhitungan atau pengetahuan lainnya," katanya.

Menurutnya, anak yang rajin membaca itu jika dikorelasikan dengan digital tentunya bisa saja. Tetapi, rajin membaca itu juga tidak semata dari digital.

"Kita bisa membuat cara-cara yang menarik seperti belajar membaca nyaring, bercerita sehingga mereka lebih rajin membaca. Kalau rajin membaca kan tidak buta huruf lagi. Tetapi cara-caranya memang harus kita kreatifkan, kita kreasikan semenarik mungkin dan kalau bisa dikaitkan juga dengan digital. Misalnya, kegiatan yang kami buat itu kami dokumentasikan baik mereka belajarnya, baik mereka bercerita jadi mereka semakin merasa menarik kegiatann yaitu yang kita buat di Rumah Literasi Ranggi," tambah Ranggi.

Tidak hanya di wilayah Sumatera Utara, Ranggi menyebutkan banyak anak-anak didaerah lain yang masih buta huruf dan melek digital. Bahkan, tidak juga pada anak yang duduk dibangku sekolah SD.

"Tidak hanya anak SD yang masih susah membaca tetapi cerdas dengan gawai. Cerdas dalam artian bukan dia tahu mengartikan baik benar dari isi, tapi artinya mereka biasa akrab dengan gawai atau handphone. Didaerah-daerah lain kami juga sering bertukar informasi seperti itu," ungkap Ketua Rumah Literasi Ranggi.

Dia mengatakan bahwa, ada kebijakan beberapa tahun terakhir ini disekolah, yang menyatakan memang tidak boleh tinggal kelas. Meskipun, murid tersebut belum layak atau belum bisa membaca.

"Jadi, anak bisa atau tidak bisa dia harus naik kelas. Belum lagi proses belajar mengajar yang dijalankan disekolah itu, apakah sudah benar-benar seperti yang seharusnya atau bagaimana. Kita kan sudah tahu juga dimana justru sekarang kadang-kadang kita temui dikelas itu anak-anak justru membuat konten yang tidak seharusnya bahkan guru juga. Nah, itu sekarang kondisi yang kami lihat," ucapnya.

3. Beragam faktor anak tidak bisa membaca tapi melek digital

Suasana kegiatan di Rumah Literasi Ranggi (Instagram @rumahliterasiranggi)

Ranggini juga menjelaskan bahwa, faktor anak yang buta huruf tapi melek digital, karena proses sekolah dan hal yang membuat murid tidak boleh tinggal kelas walaupun harusnya tinggal tapi tetap dinaikkan.

Satulagi, menurutnya penyebab anak buta huruf adalah peran orangtua atau parenting atau peran keluarga dirumah untuk peduli kepada anak-anaknya.

"Nanti orangtua suruh belajar tapi orangtuanya sendiri sibuk dengan gawainya, bersosmed, tidak peduli sama anaknya atau orangtuanya juga tidak mengerti karena masih lebih disibukkan karena mungkin keluarga prasejahtera jadi lebih disibukkan upaya mencari nafkah baik ibu ataupun bapak. Sehingga, mengurus anak tidak dipedulikan dalam pendidikan atau wawansan dan juga tidak memahami pentingnya peran orangtua pada pendidikan anak. Jadi, banyak faktor menurut saya penyebabnya gitu," terang Ranggini.

Sementara itu, di Rumah Literasi Ranggi mencoba mengisi kekosongan-kekosongan itu dengan kreatif tapi semaksimal mungkin. Sebab, masih berswadaya dan berkolaborasi sifatnya.

"Jadi, masih bekerja sama dengan pihak-pihak Universitas dan relawan-relawan dan hari ini susah mencari relawan yang royal dan punya idealisme untuk benar-benar ikut memiliki visi berbuat karena namanya relawan tidak digaji. Jadi, saya pikir ini memang menjadi tanggungjawab kita bersama. Kami Rmah Literasi Ranggi dengan segala upaya mencoba berbuat walaupun mungkin tidak bisa banyak mengurus masalah ini secara luas tapi paling tidak untuk anak-anak kami, kami upayakan.

Tidak hanya itu, di Rumah Literasi Ranggi katanya anak yang putus sekolah karena berbagai faktor misalnya karena tidak ada adminduk atau akta kelahiran, dikarenakan orangtuanya juga tidak memiliki KTP dan KK akan dibantu.

Kemudian, ada juga anak yang mengalami buli disekolahnya dan orangtuanya juga tidak peduli. Sehingga, anak tersebut tidak mau sekolah lagi. Maka, peran Rumah Literasi Ranggi mencoba membujuk dan memberi pengertian untuk anak tersebut dididik. Sehingga, anak tersebut kembali mendaftar masuk sekolah lagi.

"Ada juga karena masalah keluarga orangtuanya, bapaknya botot mamaknya di pabrik sarang walet jadi punya bayi lagi, anaknya agak besar jadi disuruh jaga adiknya sehingga tidak bisa sekolah. Hal ini menjadi kompleks masalahnya, dan inilah yang kami hadapi. Jadi, kami berusaha semaksimal mungkin. Kami berharapnya banyak pihak yang peduli, karena kami selain kekurangan Sumber Daya Manusia, kami juga kurang daya sumber ekonominya untuk mendukung proses belajar mengajar seperti ini, supaya lebih maksimal, supaya lebih efektif dan bisa menginterpretasikan lebih banyak anak lagi," pungkas Ranggini.

Editorial Team