Suasana gadai di kantor Pegadaian cabang Ngawi jelang tahun ajaran baru. IDN Times/ Riyanto.
Terkait ongkos mereka untuk menjadi para anggota DPRD, menurut Fernanda tidak diketahui pasti berapa angka yang dikeluarkan. Namun,menurutnya jika melihat secara matematis sebelum menjadi anggota DPRD ini dipaksa mandiri untuk berkonstestasi dengan lawan-lawan politik yang lain. Sehingga, setiap daerah tentu akan berbeda jumlah pengeluarannya.
Menurutnya fenomena vote buying (pembelian suara) sudah menjadi suatu hal yang masif. Temuan di lapangan, hal ini yang memperberat amunisi atau Sumber Daya Ekonomi daripada caleg karena harus ada kekuatan dana antara legislatif.
"Kalau kita bisa bayangkan vote buying yang diberikan kepada masyarakat di dalam kontestasi yang itu menjadi suatu yang masif Rp50 ribu/ kepala kalikan saja misalnya jumlah yang dia sebar untuk memenangkan dia sebagai caleg," kata pria yang baru menyelesaikan pendidikan Doktor di Universitas Indonesia ini.
"Mungkin bisa taksirannya kalau untuk di kota bisa Rp1 miliar atau Rp1,5 miliar. Kalau tingkat DPD yang lebih banyak mungkin bisa sampai di Rp3 miliar hingga Rp5 miliar," tambah Fernanda.
Namun ia meyakini tidak semua Caleg melakukan hal yang seperti itu. Misalnya anggota legislatif atau caleg yang sudah mengakar di masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh ormas, tokoh agama tidak melakukan vote buying kepada masyarakat. Kebutuhan finansialnya hanya bentuk sosialisasi misalnya dalam pertemuan kepada publik atau kemudian memasang baliho atau spanduk.
"Nah, itu mungkin kisarannya di bawah Rp1 miliar mungkin," tambahnya.
Salah satu faktor yang paling menguras isi dompet bagi para caleg adalah pembelian suara, yang sudah menjadi rahasia umum. Menurutnya yang paling menguras itu adalah perilaku caleg untuk vote buying itu pasti sangat besar sekali. Tapi kalau caleg tidak melakukan vote buying, mau berkampanye, mau memanfaatkan waktu door to door dan kemudian dia menolak sistem atau gaya vote buying itu tentu tidak akan besar biayanya untuk memenangkan kontestasi.
"Pertanyaannya sekarang, apakah caleg tersebut siap untuk kerja sosial kepada masyarakat sebelum dia terpilih? Artinya yang kita lihat selama ini, para caleg ini akan tampil pada momentum pemilu. Sebelum pemilu atau jauh hari pemilu, atau bahkan hari ini sudah selesai pemilu mereka juga banyak yang tidak kelihatan lagi di akar rumput atau masyarakat untuk membagi sembako, dan bersosialisasi apalagi caleg yang tidak terpilih, dan tim sukses yang bekerja juga harus dibayar," tuturnya.