Polres Tapanuli Utara menangkap dua orang masing-masing penjual paruh rangkong dan sisik tenggiling. (Dok: Polres Taput)
Kasus perdagangan barang bukti kasus Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL) bukan kali ini saja terjadi. Hal ini diungkap oleh Senior Technical Advisor NRCU (Natural Resources Crimes Unit) Dwi Nugroho Adhiasto. Bahkan tidak hanya barang bukti bagian tubuh satwa saja, penjualan juga terjadi pada satwa yang masih hidup.
Kata Dwi, perdagangan barang bukti ini terjadi karena beberapa tahapan yang dinilai punya kerawanan.
“Saya bicara tentang pengalaman-pengalaman penanganan kasus, misalkan barang bukti yang hidup ketika ada penangkapan oleh penyidik idealnya dan sering dilakukan, mereka menyisihkan sebagian kecil dari barang bukti hidup itu. Karena, misalnya barang buktinya burung dilindungi dalam jumlah besar. Jika terlalu lama disimpan di dalam tempat yang tidak ideal, berpotensi mati,” kata Dwi, Jumat (12/11/2022).
Setelah disisihkan, barang bukti itu bisa dilepasliarkan kembali. Namun harus tetap dibuat berita acara pelapsliarannya sesuai prosedur yang berlaku. Disertai dokumentasi lengkap.
Sedangkan untuk barang bukti bagian tubuh satwa, bisa langsung dimusnahkan setelah sisihkan sebagian untuk kelengkapan perkara. “Sisanya dimusnahkan, meski proses hukumnya masih berjalan. Pemusnahan juga dilakukan dengan prosedur yang lengkap,” katanya.
Ini juga efektif dilakukan untuk meminimalisir potensi penyakit yang ditularkan dari satwa karena barang bukti disimpan terlalu lama.
Namun, itu semua tergantung dari kejelian penyidik dalam menangani perkara. Putusan hakim juga penting. Apakah barang bukti itu akan dimusnahkan, atau dikembalikan kepada negara untuk kepentingan penelitian. Barang bukti itu nantinya akan diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Nanti terserah KLHK. Apakah menyimpannya di dalam tempat penyimpanan barang bukti, atau dikembalikan ke lembaga riset untuk kepentingan penelitian. Atau untuk museum dan sebagainya,” tukasnya.
Namun cara ini dinilai belum efektif dilakukannya. Karena, lembaga penelitian, museum dan lainnya dinilai belum mampu menampung barang bukti, khsususnya dalam jumlah besar.
Dwi mengungkapkan, pemusnahan bagian tubuh satwa yang disita masih dinilai sebagai solusi yang simpel dan efektif. Namun harus dengan pemantauan yang ketat. Misalnya, sebelum dimusnahkan, barang bukti harus dihitung atau ditimbang ulang. “Makanya pemantauan sangat barang bukti itu sangat penting,” ungkapnya.
Sementara untuk spesies yang masih hidup bisa diberikan penanda. Sehingga, jika dijual lagi ke pasar gelap, akan ketahuan. Begitu juga dengan barang bukti yan disimpan di dalam penyimpanan resmi. Dia juga mendorong agar instansi terkait rutin melakukan pemeriksaan barang bukti yang tersimpan.
“Misalkan gading. Itu bisa ditorehkan barcode atau penanda fisik yang memastikan gading Itu disimpan di tempat penyimpanan,” katanya.