Ditpam BP Batam Diduga Sekap dan Persekusi Lansia di Pulau Rempang

Batam, IDN Times - Seorang perempuan lanjut usia bernama Nur Suarni (65) mengaku mengalami tindakan kekerasan, termasuk penyekapan dan persekusi oleh petugas Direktorat Pengamanan (Ditpam) Badan Pengusahaan (BP) Batam saat penertiban rumah milik adiknya, Rosmawati (54), di Tanjung Banon, Pulau Rempang, Kota Batam, Selasa (8/7/2025).
"Saat di rumah adik saya, saya dipiting, diangkat kayak binatang dan dilempar ke dalam mobil sama Ditpam BP Batam, lalu saya dikunci di dalam mobil," kata Nur Suarni saat ditemui di depan Polresta Barelang, Kamis (10/7/2025).
Nur Suarni mengatakan, kejadian bermula pada Senin (7/7/2025) malam, saat ia menginap di rumah adiknya karena sudah larut malam. Ia datang untuk mengambil uang kiriman dari anaknya di Medan.
Keesokan paginya, sekitar pukul 07.30 WIB, rumah Rosmawati dikepung oleh ratusan personel gabungan dari Ditpam BP Batam, TNI, Polri, Satpol PP, dan Kejaksaan.
Ketika Nur hendak kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil jaket dan helm, ia dihadang oleh petugas perempuan Ditpam. Ia mengaku diseret, dipiting, dan dilempar ke dalam mobil.
"Saya mau masuk ke rumah, mau ambil jaket dan helm saya, tapi mereka tidak izinkan saya masuk. Tidak lama itu, saya langsung diseret, dipiting, diangkat kayak binatang dan dilempar ke dalam mobil," ungkapnya.
Di dalam mobil, Nur mengaku ketakutan karena ada tiga petugas perempuan Ditpam dan dua laki-laki. Ia merasa tidak sehat karena memiliki riwayat penyakit jantung dan mobil dikemudikan dengan cepat. Ia sempat meminta mobil berhenti, tetapi tidak dikabulkan oleh petugas.
"Waktu itu mobil langsung jalan, mereka bawa mobil ngebut kali. Saya ketakutan dan karena itu perut saya sakit. Saya minta berhenti tapi mereka tidak izinkan dan suruh saya untuk buang air besar di dalam mobil," katanya.
Nur akhirnya terpaksa buang air besar di dalam mobil. Ia kemudian diturunkan di pinggir jalan kawasan Sungai Raya, Pulau Rempang. Beberapa saat kemudian, Rosmawati dan anaknya datang menjemput.
Namun, menurut penuturan Nur, ketika ia meminta turun di simpang Rempang Cate, sopir mobil justru melajukan kendaraan dengan ugal-ugalan. Ia bahkan sempat menarik kerah baju sopir, tetapi tidak dihiraukan.
"Waktu sudah dekat di simpang Rempang Cate, saya minta mobil berhenti karena dekat rumah saya, tapi yang bawa mobil malah ngebut sekali dan ugal-ugalan. Saya sempat teriak dan tarik kerah baju pengemudi mobil, tapi nggak digubris," katanya. "Biar kita mati sama-sama," lanjut Nur menirukan ucapan sopir.
Mobil terus melaju ke kawasan Tembesi, Batam, lokasi rumah relokasi sementara. Di sana, Nur dan keluarganya diberi kunci rumah oleh petugas, lalu ditinggalkan. Ia mengalami lebam di sekujur tubuh dan nyeri di bagian punggung, namun belum melakukan visum.
1. Penolakan relokasi

Sementara itu, upaya konfirmasi dilakukan kepada Rosmawati melalui sambungan seluler. Ia mengatakan, dirinya merupakan warga terakhir yang masih bertahan di Tanjung Banon, dan menolak relokasi karena nilai ganti rugi yang ditawarkan BP Batam dinilai tidak masuk akal.
"Dari awal saya diberikan Surat Peringatan (SP) 1 sampai 3, saya tetap menyatakan menolak untuk menerima direlokasi. Alasannya gara-gara nilai ganti yang tidak sesuai, jauh dari yang diharapkan," kata Rosmawati.
Ia mengaku telah diberitahu soal rencana penggusuran sehari sebelumnya. Namun, ia tetap menolak dengan alasan belum ada kesepakatan mengenai ganti rugi.
"Kakak saya datang pada malam harinya, mau ambil uang kiriman dari anaknya. Tapi karena kemalaman, dia nginap di rumah saya," katanya.
Pagi hari saat eksekusi berlangsung, Rosmawati mengaku melihat kakaknya mulai dikelilingi petugas perempuan Ditpam. Saat itu, Nur Suarni mengucapkan kalimat keimanan sebagai bentuk penolakan.
"Saat itu kakak saya marah dan mengucap kalimat Tauhid, ‘La ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah’," kata Rosmawati.
Menurutnya, tindakan itu memicu reaksi lebih keras dari petugas perempuan Ditpam BP Batam. "Saya lihat sendiri ketika kakak saya dipiting, diseret, dan diangkat kayak binatang dan dimasukkan ke dalam mobil," ujar Rosmawati.
Ia sendiri kemudian dipindahkan ke mobil lain bersama anaknya. Saat kendaraan mereka berhenti di simpang Sungai Raya, Rosmawati melihat kakaknya sudah tergeletak di pinggir jalan dengan kondisi tidak layak.
"Saat itu saya lihat kakak saya sudah tergeletak di pinggir jalan dan ada bau kotoran. Rupanya dia tidak diizinkan buang air besar dan dipaksa untuk buang air besar di dalam mobil, lalu dibuang di pinggir jalan, sakit hati saya melihat itu," ujarnya. Rosmawati menegaskan akan menuntut hak-haknya dan berencana kembali ke Tanjung Banon.
2. Penjelasan BP Batam

Kepala Biro Umum BP Batam, Muhammad Taufan mengungkapkan, penertiban dilakukan sesuai prosedur karena bangunan berada di kawasan Rempang Eco-City. Ia mengatakan sebanyak 600 personel gabungan dilibatkan dalam penertiban.
"Sebanyak 600 personel dari TNI, Polri, Ditpam, Satpol PP, dan Kejari Batam terlibat dalam kegiatan tersebut," kata Taufan, Rabu (9/7/2025).
Ia menyatakan bahwa pendekatan persuasif dan humanis telah dilakukan sebelumnya. Namun karena warga tetap menolak, penertiban tetap dijalankan.
"Upaya pendekatan persuasif dan humanis sebelumnya juga telah dilaksanakan tim kepada warga yang bersangkutan. Namun, dikarenakan yang bersangkutan tetap menolak, maka dilaksanakan upaya penertiban," ujarnya.
Taufan menambahkan, penertiban ini diperlukan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dasar dan perumahan relokasi oleh Kementerian PU dan Kementerian Transmigrasi. Proyek pembangunan direncanakan dimulai pada awal Agustus 2025.
Upaya konfirmasi tambahan kepada Taufan, Kamis (10/7/2025), terkait dugaan kekerasan terhadap warga belum mendapat tanggapan. Selain itu, upaya konfirmasi juga dilakukan kepada Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad melalui pesan singkat, namun belum mendapatkan tanggapan.
3. Mayoritas warga tolak relokasi PSN Rempang Eco City

Proses penertiban rumah warga di kawasan Tanjung Banon, Pulau Rempang, Kota Batam menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Kampung Tua sekitar. Mereka menyaksikan langsung tindakan aparat saat menggusur rumah warga yang menolak direlokasi, termasuk dugaan persekusi terhadap seorang warga lanjut usia.
Siti Hawa (63), warga Kampung Tua Pasir Merah mengaku melihat langsung proses penggusuran tersebut. Ia menilai cara aparat memperlakukan warga tidak manusiawi.
"Nenek lihat sendiri bagaimana rumah itu digusur dan orang-orang di dalam rumah ditarik paksa. Nenek sempat berteriak karena kesal dan sakit hati, tapi warga kalah jumlah, nenek disitu cuman berdua sementara mereka 600 orang," kata Siti Hawa saat ditemui di Pulau Rempang, Kamis (10/7/2025).
Ia menambahkan bahwa suasana penggusuran sangat mencekam, terutama saat petugas mendekati rumah terakhir yang masih ditempati oleh warga, Rosmawati (54), yang memilih bertahan karena menolak ganti rugi yang dianggap tidak sesuai.
Sementara itu, Aliansi Masyarakat Adat Rempang-Galang Bersatu (AMAR-GB) menyatakan bahwa mayoritas warga di Pulau Rempang menolak relokasi maupun proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City yang menjadi alasan pemerintah menggusur permukiman lama.
"Mayoritas masyarakat Rempang menolak direlokasi dan menolak masuknya investasi yang dipaksakan lewat proyek PSN Rempang Eco City," kata Roziana, Sekretaris AMAR-GB. "Dari awal proses ini tidak pernah mengedepankan musyawarah. Warga hanya diberi pilihan: pindah atau digusur. Ini bukan cara membangun, ini cara merampas."
Sebagaimana diketahui sebelumnya, Rempang Eco City ditetapkan sebagai PSN berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023. Proyek ini bertujuan menjadikan Pulau Rempang sebagai kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata terintegrasi dengan target investasi jangka panjang.
Salah satu investor utama dalam proyek ini adalah Xinyi Group, perusahaan asal China yang bergerak di bidang industri kaca dan energi surya. Perusahaan tersebut berkomitmen menanamkan investasi senilai Rp175 triliun secara bertahap di kawasan industri Rempang, terutama untuk membangun pabrik kaca terbesar di Asia Tenggara.
Untuk mendukung proyek ini, pemerintah merencanakan relokasi lebih dari 7.500 warga yang tinggal di 16 kampung tua di Pulau Rempang. Mereka akan direlokasi ke kawasan yang terintegrasi di Tanjung Banon.
Namun, proses relokasi sejak awal mendapat penolakan dari warga karena dinilai dilakukan tanpa musyawarah, dan mengabaikan hak masyarakat adat yang telah tinggal di Rempang secara turun-temurun, bahkan jauh sebelum tahun 1946.