Masyarakat di Pulau Rempang saat merayakan malam Takbiran Idul Adha 1445 H (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Idul Adha selalu menjadi simbol pengorbanan. Tetapi bagi warga Rempang, pengorbanan tak lagi hanya soal menyembelih hewan—ini adalah tentang menyerahkan segalanya demi mempertahankan kampung, kebudayaan, dan ruang hidup.
Dalam refleksi yang dibacakan menjelang akhir acara, seorang warga menyampaikan pesan yang membekas di telinga.
"Kita tak punya banyak sapi atau kambing. Tapi kita punya semangat Ibrahim dalam dada. Bukan hanya hewan yang kami rela serahkan, tapi jiwa dan raga demi tanah yang kami pertahankan."
Ribuan umat Muslim merayakan Idul Adha dengan daging kurban dan kebersamaan keluarga. Namun di Pulau Rempang, warga merayakannya dengan satu tekad: bahwa pengorbanan terbesar adalah melawan kehilangan, melawan lenyapnya identitas.
Acara malam itu usai sekitar pukul 21.30 WIB. Warga perlahan bubar, kembali ke kampung masing-masing. Namun malam tak sepenuhnya gelap. Di banyak sudut kampung, obor masih menyala. Di hati warga, bara perlawanan belum padam.
Mereka tahu perjuangan ini belum selesai. Rencana relokasi masih bergulir. Surat-surat peringatan masih dikirimkan. Namun mereka juga tahu satu hal: kampung ini tak boleh hilang tanpa suara.
Rempang adalah kampung tempat ribuan cerita bermula, dan malam takbir ini menjadi satu bab baru—bab tentang bagaimana warga bertahan, bukan hanya melawan proyek besar, tetapi juga melawan lupa.
"Jika fajar masih sedia terbit," tulis puisi itu, "Kami akan menyembelih duka di altar langit, sambil bercerita pada anak cucu kami, kami pernah berkorban demi identitas tanah air tercinta."