Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
TPL TUTUP_6.jpg
Para pemuka agama ikut dalam unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Intinya sih...

  • Pemuka agama menyebut negara absen dalam konflik TPL dengan masyarakat

  • TPL harus ditutup untuk menghentikan konflik berkepanjangan

  • Konsolidasi para pemuka agama terus diperkuat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Paus Franciskus pernah berkata gereja harus hadir berlumpur, berkeringat menjumpai masyarakat di jalanan, menjumpai masyarakat korban yang keadilan tidak hadir di tengah-tengahnya, yang bahkan negara tidak hadir. Di situ harus bersuara gereja, harus menunjukkan bahwa Allah datang untuk membawa pembebasan. Dan itu yang ditunjukkan oleh gereja sekarang ini.

Pastor Walter Sitanggang dalam demonstrasi ‘Tutup TPL’, Senin (10/11/2025).

Suara gondang dan ogung (alat musik khas Batak) berpadu dengan teriakan Tutup TPL menggema di depang Kantor Gubernur Sumatera Utara, Senin (10/11/2025). Seribuan lebih massa datang dari berbagai elemen. Masyarakat adat, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil, menggeruduk kantor Muhammad Bobby Afif Nasution itu.

Namun ada pemandangan yang menarik. Sebagian massa tampak memakai busana yang tidak biasa. Ada yang memakai jubah coklat, surban, hingga jas serba hitam. Ternyata mereka adalah para pemuka agama. Mulai dari pemuka agama Kristen, Katolik, hingga Islam.

Para pemuka agama ini, turut aktif dalam geombang kemarahan masyarakat atas konflik agraria dnegan PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan pulp yang dinilai mereka telah merebut lahan hingga sebagai penyebab kerusakan ekologi di kawasan Danau Toba dan sekitarnya.

Jumlah pemuka agama yang ikut unjuk rasa tidak sedikit. Ada puluhan orang yang ikut. Pastor, pendeta, hingga suster ikut memegang spanduk. Bahkan beberapa pemuka agama menyampaikan orasi kritis tentang konflik itu.

“Kami hadir dari Tapanuli Raya, juga dari Medan ini, dan kami semua dari berbagai lapisan dan elemen hadir dan mau menyuarakan perjuangan kami selama ini untuk menutup TPL karena TPL sangat jahat,” kata Pastor Walden Sitanggang, OFM Cap (JPIC Kapusin) disela unjuk rasa.

1. Pemuka agama menyebut negara absen dalam konflik TPL dengan masyarakat

Para pemuka agama ikut dalam unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dalam beberapa waktu belakangan, dukungan para pemuka agama terhadap perjuangan masyarakat yang menjadi korban konflik menguat. Keterlibatan para pemuka agama bahkan dengan turun langsung ke wilayah-wilayah yang berkonflik.

Kata Walden, para pemuka agama mengutuk keras dugaan kriminalisasi dan penyerobotan lahan yang dilakukan TPL. Mereka juga ikut mengkritik pemerintah yang dinilai absen dalam setiap letupan konflik.

“Hari ini kami menyatakan gereja tidak hanya ada di altar, gereja ada bersama dengan masyarakat yang tertindas, masyarakat yang terpinggirkan. Kami melihat negara belum sepenuhnya hadir bagi korban-korban yang dilakukan oleh PT TPL. Karena itu kami melawan, kami menolak kehadirannya di Tapanuli Raya,” katanya.

2. TPL harus ditutup untuk mengehentikan konflik berkepanjangan

Unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Tercatat, sudah lebih dari empat dekade konflik antara masyarakat dengan TPL berlangsung. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), PT TPL telah memonopoli lahan seluas 291.263 hektare selama konflik berlangsung. Dari total itu, 33.422,37 hektare adalah tanah adat milik 23 komunitas Masyarakat Adat di 12 kabupaten.

Dalam kurun waktu tersebut, 470 warga menjadi korban: dua meninggal, 208 mengalami penganiayaan, dan 260 dikriminalisasi. Bahkan, ada tudingan praktik “perbudakan modern” terhadap pekerja.

Menurut Walden, solusi untuk mengakhiri konflik dengan menutup PT TPL. “Kami berharap tidak ada lagi air mata yang dijatuhkan oleh ibu-ibu, tidak ada lagi anak-anak yang menangis karena trauma, tidak ada lagi orang yang mengalami ketidaknyamanan di rumahnya sendiri, di ladangnya sendiri, di tanah leluhurnya, karena gebukan, karena pukulan, karena intimidasi dari PT TPL,” imbuhnya.

3. Konsolidasi para pemuka agama terus diperkuat

Para pemuka agama ikut dalam unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selain korban dari masyarakat, PT TPL juga dituding jadi biang kerusakan lingkungan di kawasan Danai Toba. Hutan-hutan yang selama ini dijaga dan dirawat oleh masyarakat adat dengan kearifan lokal, hancur diduga karena PT TPL.

Walden ingin, kelestarian alam itu bisa dikembalikan. Karena bagi masyarakat, tanah adalah sumber penghidupan. Begitu banyak komunitasi masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan yang lestari.

Gerakan para pemuka agama ini, imbuh Walden, tidak akan berhenti. Sekber akan terus memperluas konsolidasi para pemuka agama.

“Ini adalah bentuk kebersamaan, bentuk kerjasama, untuk semakin solid, mempertahankan tanah kita, tanah masyarakat. Pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini, kurang serius, kurang hadir. Karena itu kami dari pihak gereja, dari berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, dan semua orang yang juga, perantau-perantau dari tanah Batak, harus saya katakan, sangat peduli. Satu misi, yakni bagaimana supaya masyarakat di Tapanuli Raya bisa tentram mendapat pangan, alam terjaga, alam lestari, demi generasi sekarang, dan generasi yang akan datang,” tukasnya.

4. Konflik TPL dengan masyarakat, kekerasan berulang: Solusinya TPL harus tutup

Unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sementara itu, Koordinator Aksi Rocky Pasaribu menyebut bahwa konflik antara TPL dan masyarakat selalu menunjukkan pola yang berulang. Misalnya, dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan terus terjadi selama perusahaan itu berdiri terus berulang.

Kata Rocky, permintaan masyarakat cukup singkat. Pemerintah harus berani mencabut semua izin konsesi yang dimiliki PT TPL.

“Tidak ada solusi lain, selain perusahaan ini yang harus lengkang. Pemerintah harus mencabut izin,” katanya.

Masyarakat kata Rocky, terbantu dengan kehadiran para pemuka agama dalam perjuangan mereka. Kata Rocky, ada semangat baru yang dirasakan masyarakat.

“Ini yang kita tunggu-tunggu selama ini. Kalau selama ini kita berjalan dalam ruang yang cukup sunyi, hari ini kita cukup banyak bantuan dari mereka. Dan kita yakini itu menjadi spirit yang sangat luar biasa bagi gerakan petani dan masyarakat adat, khususnya korban PT TPL,” imbuhnya.

Unjuk rasa Tutup TPL di gubernuran berlangsung alot. Masyarakat yang menunggu kehadiran Bobby Nasution harus gigit jari. Hanya Wakil Gubernur Sumut Surya yang menemui mereka. Lantaran, Bobby sedang menghadiri penobatan pahlawan nasional di Istana Negara.

5. Klaim PT TPL: Kami berkomitmen menjalin komunikasi terbuka dengan masyarakat

Unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

PT TPL pun memberikan tanggapan atas unjuk rasa yang dilakukan masyarakat. Dikutip dari pernyataan resminya, PT TPL mengklaim memiliki komitmen terhadap komunikasi dan keterbukaan.

“Selama lebih dari 30 tahun beroperasi, PT TPL berkomitmen menjalin komunikasi terbuka dengan masyarakat melalui berbagai dialog, sosialisasi, dan program kemitraan yang melibatkan Pemerintah, Masyarakat Hukum Adat, tokoh agama, tokoh pemuda, akademisi, serta lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan sosial ini dilakukan secara inklusif dan berkelanjutan,” Kepala Komunikasi PT TPL Salomo Sitohang.

TPL juga membantah tudingan soal kerusakan lingkungan, akibat dari operasional mereka. TPL mengklaim terus melakukan pemantauan terhadap kondisi lingkungan secara periodik.

“Audit menyeluruh oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022–2023 menyatakan bahwa PT TPL taat terhadap seluruh regulasi dan tidak ditemukan pelanggaran terhadap aspek lingkungan maupun sosial,” pungkasnya.

Editorial Team