Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
-
Massa perempuan di Medan membawa poster Gibran saat unjuk rasa di titik nol Kota Medan, Sabtu (6/9/2025) (IDN Times/Prayugo Utomo)

Intinya sih...

  • Massa perempuan dan disabilitas di Medan menyuarakan tuntutan kepada DPR dan pemerintah, menampilkan panggung seni dengan pakaian pink dan hijau sebagai simbol perjuangan.

  • Massa membawa berbagai poster, termasuk poster bergambar Gibran Rakabumin Raka dengan tulisan "Sedang Mencari Empati Pejabat Negara" sebagai kritik terhadap pemerintah yang dinilai enggan mendengarkan kritik dari masyarakat.

  • Koordinator Aksi Annisa Shereenn menyatakan bahwa kemarahan rakyat merupakan manifestasi dari krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem politik yang gagal mewujudkan keadilan sosial serta perlindungan hak-hak warga negara.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Menjelang gelap massa dari kelompok perempuan hingga disabilitas masih berkumpul di titik nol Kota Medan, Sabtu (6/9/2025). Massa terus menyuarakan aspirasi mereka, mendesak DPR dan pemerintah memenuhi tuntutan 17+8 yang disampaikan dalam gelombang unjuk rasa beberapa waktu ke belakang.

Selain berorasi, Massa juga menampilkan panggung seni. Ada yang bernyanyi hingga puisi bernada protes. Massa kompak mengenakan pakaian pink dan hijau. Warna yang belakangan menjadi simbol perjuangan massa.

Massa yang juga diisi oleh mahasiswa, masyarakat adat dan berbagai komunitas pemuda membawa berbagai poster. Ada gambar munir hingga foto para korban tewas dalam unjuk rasa ricuh beberapa waktu ke belakang.

Beberapa poster juga menunjukkan kalimat anti kekerasan hingga kritik terhadap pemerintah. Dari berbagai poster itu, ada yang cukup menarik perhatian. Seorang massa membawa foto bergambar Wakil Presiden Gibran Rakabumin Raka dengan pose khas saat Pemilu lalu. Poster bergambar Gibran itu dibubuhi tulisan "Sedang Mencari Empati Pejabat Negara".

Poster Gibran ini menjadi simbol kritik terhadap pemerintah yang dinilai enggan mendengarkan kritik dari masyarakat. Koordinator Aksi Annisa Shereenn mengatakan, melalui aksi ini, kaum perempuan dan kelompok termarjinalkan ingin menyampaikan bahwa kritik masyarakat tidak bisa dibungkam.

"Kemarahan rakyat bukan sekadar reaksi spontan, melainkan manifestasi dari krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem politik yang gagal mewujudkan keadilan sosial serta perlindungan hak-hak warga negara," katanya.

Sampai saat ini kata Shereenn, masih banyak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat terutama kelompok rentan; perempuan, disabilitas, ragam gender dan seksual, anak, kelompok miskin, dan kelompok yang dimarginalkan lainya.

"Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir kebijakan yang dibuat justru memperkuat oligarki," kata Shereenn.

Beberapa kebijakan yang menjadi sorotan, mulai dari Omnibus Law yang merugikan buruh; pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Food Estate yang merampas tanah rakyat dan merusak lingkungan; hingga manipulasi regulasi untuk melanggengkan dinasti; kabinet gendut yang berdampak pada efisiensi dan ekonomi, kenaikan PPN, UU TNI dan RUU Polri yang menjadikan polisi dan TNI sebagai lembaga superpower, Proyek Strategis Nasional yang merampas ruang hidup rakyat, makan bergizi gratis RKUHAP dibahas secara sembunyi-sembunyi dan berpotensi memuat pasal-pasal bermasalah, dan masih banyak lagi.

Editorial Team