Bendera One Piece saat berkibar di Kawasan Kejawan Putih Tambak, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana)
Alfian, seorang nakama asal Medan yang sudah menggemari One Piece sejak 2005 menyadari jika anime favoritnya ini punya cerita yang relevan dengan kehidupan. Bukan hal aneh jika anime seperti One Piece yang bergaya fantasi justru kaya akan nilai-nilai mimesis. Terlebih episode yang banyak mengeksplor fenomena sosiologis di Negeri Wano.
"Ada cerita kilas balik kehidupan karakter Robin. Di mana terjadi peristiwa genosida terhadap penduduk di pulau yang isinya semua ilmuwan sekaligus pencatat sejarah dunia. Di dunia One Piece, ada namanya abad kekosongan. Abad kekosongan ini dicatat oleh para ilmuwan itu, dan dianggap pemerintah dunia sebagai suatu hal yang sangat berbahaya jika diketahui oleh publik. Alhasil secara keji pemerintah dunia melakukan genosida terhadap semua penduduk di pulau itu yang isinya adalah ilmuwan. Mereka dibunuh, termasuk dengan arsip-arsip sejarah yang mereka buat juga dibakar tak bersisa. Satu-satunya yang hidup hanya si Robin, itu pun karena dia diselamatkan oleh salah seorang petinggi admiral (tentara laut)," tuturnya.
Negeri Wano, dalam dunia One Piece banyak mengungkap isu pertambangan. Dikuasai bajak laut bernama Kaidou yang rutin menyetor ke pemerintahan dunia.
“Pemerintah juga memiliki sahamnya di situ. Jadi dia dilegalkan mengeksploitasi alam Negeri Wano. Yang awalnya negeri Wano subur, namun begitu datang Kaidou dengan ucapan manisnya ingin memajukan Negeri Wano dalam sektor industri pertambangan, malah berakhir menyengsarakan masyarakat," cerita Alfian.
Arman AZ, seorang peminat budaya di Lampung menilai fenomena penggunaan simbol-simbol populer sebagai bentuk protes kepada penguasa bukanlah hal baru. Menurutnya, di banyak negara hal tersebut lumrah terjadi.
“Penggunaan bendera One Piece sah-sah saja. Itu bentuk soft warning (peringatan lunak). Yang mesti ditelisik adalah apa latar belakang atau motif penggunaan bendera One Piece hingga viral, serta siapa pemantik awalnya,” ujar Arman kepada IDN Times.
Sastrawan yang sudah melahirkan banyak karya itu mengatakan, bendera tersebut menjadi viral karena masyarakat yang gelisah atau muak dengan situasi saat ini merasa terwakili oleh simbol tersebut. Budaya pop, menurut Arman, efektif menjadi bahasa kritik sosial karena generasi pemakainya banyak, ditunjang teknologi digital, sehingga penyebarannya cepat, masif, dan mampu menarik perhatian.
Namun, bagi pihak yang merasa dikritik, hal itu justru dianggap sebagai ancaman. Bagi Arman, banyak contoh simbol fiksi yang dijadikan alat protes. Misalnya, penggunaan topeng atau tokoh kartun seperti Bart Simpson dan Mickey Mouse yang pernah dipakai dalam aksi protes sosial.
"Bahkan, yang pernah saya lihat langsung, petani-petani di Belanda memasang bendera dalam posisi terbalik di depan rumahnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang merugikan petani," ceritanya.
Dalam pandangannya, Arman lebih respek terhadap pendapat Gus Dur saat terjadi perdebatan mengenai bendera Indonesia dan bendera Papua Merdeka. “Itu lebih humanis, rileks, dan tidak menyulut ketegangan lanjutan atau berkepanjangan,” ujarnya.
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, Prabowo Pamungkas, menegaskan fenomena pengibaran bendera One Piece atau simbol Jolly Roger yang marak belakangan ini harus dilihat sebagai bentuk ekspresi warga yang dijamin konstitusi.Ia menyoroti pernyataan Menko Polhukam dan Menteri HAM yang menyebut pengibaran bendera One Piece dapat diancam pidana. Menurutnya, pernyataan itu dimaknai sebagai perintah bagi pejabat daerah.
"Respons berlebihan justru menebar ketakutan dan mengekang kebebasan berekspresi warga. Padahal kebebasan berekspresi sudah dijamin dalam UUD 1945. Bahkan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera menegaskan selama tidak dimaksudkan untuk mengganti, merendahkan, atau menghina bendera Merah Putih, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum," terangnya.
Kini, di balik bendera One Piece, ada pertarungan makna. Antara ekspresi budaya pop dan kekhawatiran negara terhadap simbol.
Dan seperti di dunia One Piece yang saat ini sudah mencapai 1.139 episode, ‘pertarungan’ ini masih berlangsung. Pemerintah bisa menghapus mural, menurunkan bendera, tapi semangat di baliknya sulit dipadamkan.
Layaknya kru Topi Jerami yang tercerai berai setelah Marineford namun tetap mengirim pesan simbolik lewat surat kabar, rakyat Indonesia pun menemukan cara kreatif untuk terus bersuara.
Dari konser musik, mural, hingga bendera yang berkibar di jalanan, semuanya menegaskan satu hal. Kebebasan berekspresi mungkin dipersempit, tapi tidak bisa sepenuhnya dibungkam.
Bendera bajak laut mungkin hanya fiksi, tapi di Indonesia hari ini ia menjelma jadi metafora nyata. Tentang kebebasan berekspresi yang semakin dibatasi, generasi muda yang menolak diam, dan negara yang gelisah menghadapi kreativitas rakyatnya.
Artikel ini kolaborasi yang ditulis oleh Herlambang Jati, Eko Agus Herianto, Ni Komang Yuko Utami, Ayu Afrilia, Dhana Kencana, Muhammad Iqbal, Debbie Sutrisno, Hironymus Daruwaskita, Tunggul Kumoro Damarjati, Muhammad Nasir, Bandot Arywono, Anggun Puspitoningrum, Silviana Via
Infografis fenomena pengibaran bendera One Piece (IDN Times/Aditya Pratama)
Grafis kontroversi One Piece (IDN Times/Mardya Shakti)