Satu dari sembilan individu Orangutan Sumatra yang direpatriasi dari Malaysia ke Indonesia. Mereka adalah korban dari perdagangan satwa liar ilegal. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Pemulangan secara sukarela para pemilik satwa dilindungi kepada petugas berwenang ibarat menjadi tren. Di satu sisi justru dianggap prestasi. Namun justru, penindakan hukum diabaikan.
Nyaris tidak pernah ada penelusuran dari mana satwa – satwa itu bisa sampai dipelihara, dimiliki oleh orang-orang yang memulangkan. Penegakan hukum mentok karena menganggap orang-orang yang menyerahkan satwa secara sukarela dinilai sudah menyadari tentang konservasi.
Minimnya penelusuran asal-usul satwa justru melemahkan upaya memutus rantai kejahatan kehutanan khususnya satwa liar dilindungi yang masih masif terjadi. Padahal sudah diamanatkan dengan tegas dalam pasal 21 ayat (2) huruf (a) Jo Pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.
Dalam kasus Kaka, BBKSDA, Gakkum KLHK dan kepolisian dinilai telah melakukan pembiaran. Pun jika menggunakan dalih restorative justice, tindakan penyerahan sukarela oleh pemilik satwa tidak masuk sebagai prasyarat. Karena ancaman hukumannya, maksimal lima tahun.
“Undang –undang konservasi tidak mengenal proses secara kekeluargaan. Dalam undang-undang itu itu sudah jelas dikatakan, memelihara, menangkap, memburu dan sebagainya itu dipidana. Ancamannya lima tahun. Artinya, proses hukum harus dijalankan,” kata Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra, Selasa malam.
Bagi Roni, pengembalian satwa dan penindakan hukum adalah dua hal berbeda. Justru aneh seolah ada pengampunan ketika pemelihara satwa dilindungi malah terbebas dari ancaman proses hukum. Apalagi, orangutan yang berstatus sangat terancam punah (Critically Endangered) itu diperoleh secara ilegal.
Harusnya, kata Roni, BBKSDA sebagai otoritas terkait membuat laporan dugaan pelanggaran hukum itu kepada Gakkum KLHK atau kepolisian agar diproses. Bukan malah seolah melakukan pembiaran dan tutup mata dengan penegakan hukum.
“Bukan karena belum ada proses hukum, lalu mereka (BBKSDA) bisa ambil satwanya. Kan perbuatan (melanggar hukum) ada. Jadi itu keliru prosesnya,” imbuhnya.
Apa yang dilakukan BBKSDA justru menjadi preseden buruk. Ini bisa saja membuat masyarakat berpikir, bahwa memelihara satwa dilindungi itu bisa terbebas dari jerat hukum jika mengembalikannya kepada negara saat ketahuan. Ini sungguh tidak baik bagi upaya konservasi. Ini juga menjadi coreng buruk bagi pemerintah dalam upaya penegakan hukum kasus kejahatan lingkungan.
Wajar juga jika masyarakat berpikir, ada ‘sesuatu’ dalam kasus Kaka. Sehingga aparatur terkait seperti enggan melakukan penelusuran hingga berujung proses hukum. Hal yang mustahil jika Kaka tiba-tiba berada di Bogor. Sementara habitat aslinya dari Sumatra.
“Pemidanaan itu bukan untuk perbuatan ke depannya. Tapi untuk perbuatan yang sudah dilakukan. Jadi kalau itu sudah koordinasi dan disebut belum ada proses penegakan hukum, bukan berarti poerbuatan itu sah,” tukas Ronny.
Dalam sejumlah kasus perburuan dan perdagangan, sering kali ditemukan bahwa yang menjadi barangbukti adalah orangutan yang berusia bayi. Untuk mengambil bayi orangutan, biasanya pemburu akan membunuh indukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi kelestarian satwa itu.
Roni mendorong agar penegakan hukum bisa dilakukan. Tidak hanya pada kasus Kaka, melainkan pada kasus-kasus pengembalian satwa dilindungi lainnya. Tentunya, ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Di tengah ancaman kepunahan satwa-satwa itu yang akan memberi pengaruh buruk bagi kelestarian alam.