Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-13 at 3.43.28 PM.jpeg
Aksi People’s Summit Flotilla berlangsung di atas kapal di perairan Belém, Brasil, bersamaan dengan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) untuk menuntut keadilan iklim sejati. (cop30.siej.or.id)

Medan, IDN Times - Di tengah sorotan dunia terhadap upaya menahan laju krisis iklim, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) melayangkan kritik keras kepada Pemerintah Indonesia. Mereka menilai delegasi Indonesia di Konferensi Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, justru lebih sibuk mempromosikan perdagangan karbon ketimbang memperjuangkan solusi nyata bagi iklim dan masyarakat terdampak.

“Pasar karbon bukan merupakan aksi iklim yang sesungguhnya. Berdasarkan Perjanjian Paris, mekanisme pasar hanya dilakukan untuk meningkatkan ambisi, bukan untuk mencapai ambisi karena risiko ketidakadilan global tetap tinggi,” kata Rayhan Dudayev, Political Lead Global Forest Solution Greenpeace Asia Tenggara dalam keterangan yang dilansir dari kanal COP30 laman Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Jumat (14/11/2025).

Menurutnya, fokus negosiasi Indonesia seharusnya melampaui mekanisme pasar jika memang serius menanggulangi krisis iklim.

1. Kritik “jualan karbon” di tengah krisis iklim yang meningkat

Ilustrasi perdagangan karbon(unsplash.com/@markusspiske)

Koalisi JustCOP menilai agenda Indonesia di COP30 terlalu berorientasi pada ekonomi karbon. Mereka mengingatkan agar pemerintah lebih fokus pada hal-hal yang berdampak langsung terhadap krisis iklim, seperti pendanaan iklim dari negara maju, perlindungan hutan, dan keanekaragaman hayati.

Isu pendanaan menjadi salah satu topik paling mendesak di forum iklim tahun ini. Sekjen PBB António Guterres dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell bahkan mendesak negara-negara maju menunaikan janji pendanaan sebesar US$ 1,3 triliun pada 2035, sebagaimana disepakati di COP29 di Baku, Azerbaijan.

Namun bagi masyarakat sipil, janji pendanaan itu tidak akan berarti jika negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, justru sibuk mencari keuntungan dari perdagangan karbon tanpa membenahi akar krisis: kerusakan hutan dan ketimpangan sosial.

2. Deforestasi masih tinggi, indonesia terancam gagal dapat dana hutan tropis

Ilustrasi perdagangan karbon. (Fortune Indonesia: Bedoel Achmad)

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, mengingatkan pemerintah agar tidak abai terhadap kewajiban menjaga hutan. Ia menyoroti meningkatnya laju deforestasi akibat ekspansi industri ekstraktif dan proyek food estate.

“Indonesia harus segera menurunkan laju deforestasi jika ingin mendapatkan dana TFFF (Tropical Forest Forever Facility),” ujarnya.

Data Auriga menunjukkan, deforestasi Indonesia pada 2024 mencapai 261.575 hektare, naik 4.191 hektare dari tahun sebelumnya. Padahal, TFFF—fasilitas pendanaan yang diinisiasi Brasil—hanya memberi insentif bagi negara yang mampu menekan deforestasi di bawah 5 persen, dengan nilai US$4 per hektare.

Ironisnya, di saat angka deforestasi meningkat, pemerintah justru mendorong proyek-proyek yang dinilai “solusi palsu,” seperti co-firing biomassa di PLTU. Praktik ini disebut tak efektif menurunkan emisi, bahkan memperparah kerusakan hutan karena meningkatnya permintaan wood pellet sebagai bahan bakar.

3.  Dampak batu bara dan kebutuhan tata kelola yang lebih adil

Ilustrasi mekanisme perdagangan karbon (pexels.com/@karolina-grabowska)

Kelompok masyarakat sipil juga menyoroti dampak energi kotor yang masih mendominasi di Indonesia. Penelitian Trend Asia, CREA, dan Celios menemukan bahwa penggunaan batu bara di 20 PLTU telah menimbulkan dampak serius bagi kesehatan masyarakat dan ekosistem pangan.

Menurut Ari Mochammad, Lead Climate WWF, aspek ekonomi dalam pengelolaan perubahan iklim memang penting, tetapi tidak boleh mengesampingkan keberlanjutan dan penerimaan masyarakat.

“Penerimaan masyarakat secara utuh terhadap sebuah program akan menjadi faktor kunci keberhasilannya,” katanya.

Ia menegaskan, tata kelola yang baik seharusnya menjadi fondasi utama sebelum bicara pasar karbon. “Artinya, perdagangan karbon seharusnya menjadi hasil dari tata kelola dan konservasi yang baik, bukan menjadi tujuan utama yang mendominasi,” ujar Ari.

Koalisi JustCOP juga mengingatkan pemerintah agar menempatkan agenda adaptasi setara dengan mitigasi, mengingat 97 persen bencana di Indonesia bersumber dari faktor hidrometeorologi. Mereka menilai tata kelola pendanaan iklim harus memastikan lembaga donor mengalokasikan porsi lebih besar untuk kegiatan berbasis masyarakat.

Sementara itu, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan ekonomi karbon. Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim, bersama Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq, meresmikan Paviliun Indonesia bertema “Accelerating Substantial Actions of Net Zero Achievement through Indonesia High Integrity Carbon.”

Paviliun tersebut menampilkan lebih dari 50 sesi diskusi dan forum “seller meet buyer” dengan nilai transaksi karbon mencapai USD 7,7 miliar per tahun.

Editorial Team