bunga Raflesia Arnoldii di Hutan Adat Dayak Kalimantan Barat (commons.wikimedia.org/Yuliana)
Deputi II Bidang Advokasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, menegaskan bahwa Masyarakat Adat justru bagian dari solusi krisis iklim, bukan penghambat pembangunan.
“Sejak lama Masyarakat Adat telah menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka. Yang dibutuhkan adalah jangan mengganggu praktik baik yang dilakukan oleh Masyarakat Adat. Jangan menganggap bahwa Masyarakat Adat itu terbelakang,” katanya.
Menurut Mega Ayu Lestari dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII), praktik konservasi yang dilakukan Masyarakat Adat telah mencakup 647.457 hektare lahan. “Praktik konservasi yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal ini merupakan solusi dari level akar rumput, yang seharusnya diakui dan dipromosikan oleh negara,” ujarnya.
Namun, Erasmus menilai pengakuan itu masih setengah hati karena belum adanya payung hukum khusus. “Pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi mendesak dan harus diprioritaskan,” tegasnya.
Sementara itu, pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, mengakui masih ada hambatan di lapangan. “Salah satu masalah yang memperlambat proses pengakuan hutan adat adalah keterbatasan sumber daya yang ada di masyarakat dan pemerintah daerah,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Penetapan Status Hutan Adat dengan target 1,4 juta hektare hingga 2029. “Desember 2025 nanti rencana kami melakukan konsultasi publik untuk draft roadmap percepatan penetapan status hutan adat,” ujar Julmansyah.