Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-13 at 3.43.48 PM.jpeg
Armada kapal Masyarakat Adat berbagai wilayah Amazon berlayar di Sungai Amazon, Brasil, pada 12 November 2025. Barisan kapal ini mengangkut 5.000 orang Masyarakat Adat menuntut penghentian kekerasan terhadap Masyarakat Adat dan aksi iklim yang nyata di COP30 yang sedang berlangsung di Belem, Brasil. (Christian Braga/Greenpeace)

Medan, IDN Times — COP30 Brazil, resmi memperkenalkan Deklarasi Belém untuk Industrialisasi Hijau, Jumat (14/11/2025). Ini merupakan sebuah komitmen global yang didukung 35 negara dan organisasi internasional untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau yang inklusif.

Deklarasi ini menjadi sinyal kuat bahwa ambisi iklim tidak lagi cukup berdiri sendiri—mereka harus dibarengi transformasi industri yang nyata dan berpihak pada masyarakat.

1. Industri Hijau didengungkan sebagai arah baru pembangunan global

Aksi People’s Summit Flotilla berlangsung di atas kapal di perairan Belém, Brasil, bersamaan dengan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) untuk menuntut keadilan iklim sejati. (cop30.siej.or.id)

Deklarasi Belém menjadi langkah strategis untuk memastikan agenda iklim bergerak menuju implementasi konkret. Wakil Presiden Brasil, Geraldo Alckmin, menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon harus sejalan dengan perubahan ekonomi yang menyeluruh.

“Tujuan iklim harus diimbangi dengan transformasi ekonomi yang nyata,” kata Alckmin dilansir dari  laman Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Minggu (16/11/2025).

Ia menekankan bahwa industri hijau bukan hanya berfokus pada teknologi modern, tetapi juga pada penciptaan pekerjaan berkualitas bagi masa depan. “Green industry adalah tentang memajukan sektor-sektor dan menciptakan pekerjaan masa depan agar semua negara dapat merasakan manfaat dari era baru kemakmuran berkelanjutan,” imbuhnya.

CEO COP30, Ana Toni, menyebut industrialisasi hijau sebagai agenda yang tak terhindarkan dan kini mulai bergerak dari meja negosiasi menuju aksi nyata. “Kita perlu bekerja bersama agar semua negara dapat maju dengan cara terbaik,” ujarnya.

Ia menilai peran pemerintah, parlemen, industri, hingga komunitas global sangat penting untuk menyusun kerangka kebijakan yang solid.

Direktur Jenderal UNIDO, Gerd Müller, menyebut deklarasi ini sebagai momen bersejarah bagi upaya global menghubungkan target iklim dengan kebijakan industri.

“Kita menghubungkan tujuan iklim dengan tindakan nyata untuk industri, menggerakkan inovasi, investasi, dan inklusi,” katanya.

2. Sorotan besar: inklusi sosial dan risiko ketimpangan transisi

Ilustrasi masyarakat adat menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati melalui penetapan kawasan hutan adat. (commons.wikimedia.org/etnis)

Di balik dorongan industrialisasi hijau, isu inklusi sosial menjadi perhatian penting. Júlia Cruz, Sekretaris Ekonomi Hijau dan Bioindustri Brasil, mengingatkan bahwa transformasi industri harus mempertimbangkan nasib komunitas yang bergantung pada sektor energi dan manufaktur.

“Kita harus memastikan pekerjaan dan manfaat nyata bagi komunitas-komunitas ini,” ujarnya.

Jika tidak dilakukan dengan adil, ia memperingatkan masyarakat rentan bisa terdorong masuk ke aktivitas ilegal seperti pembalakan liar atau tambang ilegal.

Di sisi lain, para pembela hak masyarakat adat di Belém menyuarakan kekhawatiran bahwa ekonomi hijau kerap dibangun di atas tanah yang selama ini mereka tempati dan lindungi. Mereka menuntut keadilan yang tidak dapat dinegosiasikan, terutama karena transisi energi sering kali tidak menjamin perlindungan atas wilayah leluhur mereka.

Penasihat Khusus PBB untuk HAM dan Masyarakat Adat, Albert Barume, menegaskan urgensi situasi tersebut. “Kalau dulu mereka masih bisa mundur, kini sudah tidak ada lagi ruang,” ujarnya.

3. Negara berkembang desak pendanaan dan keadilan iklim yang lebih nyata

Ilustrasi masyarakat adat di hutan adat (commons.wikimedia.org/jisdmax)

Kritik terhadap gap antara janji dan realisasi kembali mengemuka di COP30. Negara berkembang menegaskan bahwa roadmap “Baku to Belém” harus memiliki skema pendanaan yang konkret, bukan sekadar daftar komitmen tanpa mekanisme jelas. Transparansi aliran dana, beban utang, serta dominasi skema pinjaman disebut sebagai hambatan besar.

Pakar dan aktivis Indonesia juga menyuarakan kekhawatiran bahwa deklarasi semacam ini berpotensi menjadi pintu masuk greenwashing, jika tidak diikuti perlindungan terhadap hutan, masyarakat adat, hingga pekerja.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) menyampaikan posisi mereka secara tegas: negara maju wajib memenuhi utang iklim; negara berkembang berhak menuntut keadilan; dan masyarakat adat berhak mendapatkan akses langsung terhadap pendanaan serta pengambilan keputusan di wilayah mereka.

Deklarasi Belém juga masih terbuka bagi negara maupun organisasi lain yang ingin bergabung. Dengan dorongan politik yang besar di COP30, dunia kini menunggu apakah agenda industrialisasi hijau benar-benar bergerak dari komitmen menuju perubahan nyata di lapangan.

Editorial Team