Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-11-13 at 3.43.48 PM.jpeg
Armada kapal Masyarakat Adat berbagai wilayah Amazon berlayar di Sungai Amazon, Brasil, pada 12 November 2025. Barisan kapal ini mengangkut 5.000 orang Masyarakat Adat menuntut penghentian kekerasan terhadap Masyarakat Adat dan aksi iklim yang nyata di COP30 yang sedang berlangsung di Belem, Brasil. (Christian Braga/Greenpeace)

Intinya sih...

  • Kriminalisasi masyarakat adat masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia

  • AMAN Catat 687 Konflik Agraria di Wilayah adat dalam satu dekade

  • Suara dari Amazon: seruan global untuk keadilan iklim

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Di atas kapal legendaris Rainbow Warrior milik Greenpeace yang tengah melaju di Sungai Amazon, Brasil, suara dari Nusantara menggema lantang. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menuntut pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk menghentikan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.

“Setop kriminalisasi Masyarakat Adat! Sahkan RUU Masyarakat Adat sekarang!” tegas Rukka, dalam keterangan resmi, (13/11/2025).

Rukka menegaskan bahwa Masyarakat Adat telah lama mewarisi pengetahuan tradisional yang menjadi penopang penting bagi ekosistem global. Namun, suara mereka justru sering diabaikan dalam perundingan iklim dunia.

“Dari Sumatera hingga Papua, Masyarakat Adat terus dikriminalisasi atas nama pembangunan dan percepatan Proyek Strategis Nasional,” ujarnya.

1. Kriminalisasi masyarakat adat masih terjadi di berbagai wilayah Indonesia

Aksi People’s Summit Flotilla berlangsung di atas kapal di perairan Belém, Brasil, bersamaan dengan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) untuk menuntut keadilan iklim sejati. (cop30.siej.or.id)

Kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat terus berulang di banyak daerah. Di Pulau Halmahera, Maluku Utara, 11 orang Masyarakat Adat Maba Sangaji dijatuhi hukuman penjara lima bulan delapan hari setelah memprotes aktivitas tambang nikel PT Position dengan ritual adat.

Sementara di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, warga yang menolak ekspansi proyek panas bumi PLN di wilayah adat mereka juga menghadapi tekanan hukum. Proyek ini mengancam 14 kampung adat di Pegunungan Poco Leok yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.

Tak hanya itu, 19 warga Masyarakat Adat Togean di Sulawesi Tengah masih berhadapan dengan proses hukum karena menolak penetapan zonasi Taman Nasional Kepulauan Togean yang dinilai tidak melibatkan warga.

Sedangkan di Sikka, Pulau Flores, tujuh Masyarakat Adat dijadikan tersangka karena berkonflik lahan dengan korporasi perkebunan kelapa PT Kristus Raja Maumere milik Keuskupan setempat.

2. AMAN Catat 687 Konflik Agraria di Wilayah adat dalam satu dekade

Tokoh masyarakat adat Sorbatua Siallagan. (Dok BAKUMSU)

Dalam laporan “Catatan Akhir Tahun 2024: Transisi Kekuasaan dan Masa Depan Masyarakat Adat Nusantara”, AMAN mencatat 687 konflik agraria di wilayah adat dengan total luasan mencapai 11,07 juta hektare dalam sepuluh tahun terakhir.

Konflik-konflik itu menyebabkan lebih dari 925 orang Masyarakat Adat dikriminalisasi karena mempertahankan tanah leluhur dan sumber penghidupan mereka.

AMAN menegaskan bahwa akar dari persoalan ini adalah belum disahkannya RUU Masyarakat Adat, yang telah dibahas sejak 2009 namun tak kunjung menjadi undang-undang.

“AMAN menuntut negara untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat dan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai jalan keluar bagi serangkaian persoalan yang terus mengancam dan menindas Masyarakat Adat,” tegas Rukka.

3. Suara dari Amazon: seruan global untuk keadilan iklim

Para pemuka agama ikut dalam unjuk rasa bertajuk 'Tutup TPL' di depan Kantor Gubernur Suamtera Utara, Senin (10/11/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pelayaran kapal Rainbow Warrior menjadi simbol perlawanan global Masyarakat Adat terhadap ketidakadilan iklim. Kapal ini bergabung dengan 200 perahu dari 60 negara dalam perhelatan COP30 UNFCCC di Belém, Brasil, membawa lebih dari 5.000 perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh dunia, termasuk Rukka dan Fransiska Rosari Clarita You dari wilayah adat Papua.

Mereka berlayar sambil menyuarakan kecaman terhadap “solusi iklim palsu” dan menegaskan bahwa jawaban untuk dunia yang berkelanjutan justru ada pada Masyarakat Adat.

Dari barat, armada Yaku Mama berlayar 3.000 kilometer melintasi Sungai Amazon membawa pesan “Akhiri Bahan Bakar Fosil – Keadilan Iklim Sekarang.” Dari selatan, The Answer Caravan menyoroti bahaya monokultur kedelai dan jagung yang menghancurkan hutan di Brasil. Dari utara, Flotilla 4 Change menempuh pelayaran hampir tanpa emisi, sementara Laraçu Scientific River Caravan menghadirkan kolaborasi akademik Prancis–Brasil untuk memperkuat sains lingkungan.

Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, Carolina Pasquali, menegaskan bahwa ribuan orang Masyarakat Adat yang berpartisipasi dalam pelayaran ini menunjukkan kekuatan solidaritas global.

“Masyarakat Adat yang telah berjuang turun-temurun demi hak-hak, tanah, dan hutannya serta masyarakat sipil yang menuntut tindakan nyata dari para pemimpin dunia dan negosiator di COP. Ini harus menjadi COP yang penuh aksi. Aksi untuk iklim, aksi untuk hutan, aksi untuk manusia,” ujarnya.

Editorial Team