IDN Times - Di hari terakhir COP30 di Belém, dinamika perundingan iklim kembali menunjukkan betapa kompleksnya tarik ulur politik global. Indonesia menjadi salah satu negara yang paling vokal mengkritik sejumlah teks keputusan yang dinilai melemah. Mulai dari isu gender hingga hilangnya pendanaan adaptasi dalam draf terbaru. Namun di sisi lain, aktivis menilai Indonesia justru kurang bersuara dalam isu-isu strategis.
COP 30, Indonesia Dinilai Pasif di Meja Negosiasi

1. Indonesia kritik teks COP3030: gender progresif hingga pendanaan adaptasi hilang
Delegasi Indonesia menyebut sejumlah draf keputusan COP30 masih jauh dari matang, terutama dalam Belem Political Package. Ary Sudijanto, Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim, mengungkap bahwa proses diskusi sempat berhenti karena insiden kebakaran pada Kamis sore. “Kita kehilangan ya mungkin bisa 9 jam, 10 jam waktu negosiasi,” kata Ary dilansir dari laman COP30 SIEJ, Minggu (23/11/2025).
Salah satu isu paling sensitif adalah upaya memasukkan definisi gender progresif, yang disebut Indonesia sebagai garis merah. “Itu kan termasuk red line bagi Indonesia,” ujar Ary. Meskipun Brasil disebut sudah mengakomodasi sebagian masukan Indonesia, “tidak semua diterima.”
Selain itu, Indonesia juga keberatan karena teks Mutirão dianggap menghapus komitmen pendanaan adaptasi. Ary menegaskan bahwa negara berkembang butuh angka konkret, bukan hanya istilah “doubling” atau “tripling”. “Setelah doubling dan tripling itu menjadi USD120 billion. Tapi angka itu belum pernah tersebut juga,” ujarnya.
2. Isu fosil dan hutan: indonesia menolak bahasa baru dan tak gabung koalisi phasing out
Perdebatan energi fosil kembali memecah negara-negara di COP30. Lebih dari 80 negara sudah menyatakan komitmen phasing out, tetapi Indonesia memilih tidak bergabung.
“Kita masih membutuhkan waktu menuju pengurangan secara bertahap penggunaan bahan bakar fosil,” kata Ary.
Indonesia juga menolak frasa baru terkait investasi fosil demi menjaga konsistensi dengan keputusan CMA 5. Sementara di isu kehutanan, Indonesia meminta agar teks Mutirão tidak melemah dari keputusan sebelumnya. “Kita ingin tetap konsisten teksnya berdasarkan yang sudah diputuskan sebelumnya,” ujar Ary.
Namun, peluang Indonesia untuk memasukkan isu baru makin terbatas karena sesi final Mutirão hanya dibuka untuk negara tertentu. Ary menyebut ruang negosiasi semakin sempit dan tertutup. “Peluang untuk mengusung isu baru sebenarnya sangat terbatas,” ucapnya.
3. Aktivis nilai Indonesia pasif: minim suara di isu fosil hingga pendanaan
Menjelang akhir konferensi, kritik dari masyarakat sipil menguat. Greenpeace menilai Indonesia terlalu pasif dalam isu-isu utama.
“Indonesia malah aktif hanya dalam negosiasi pasar karbon. Tapi untuk aksi iklim yang ambisius dan penting untuk mendatangkan pendanaan, sangat minim,” kata Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace.
Rayhan mengingatkan bahwa dampak krisis iklim sudah nyata di Indonesia—from banjir rob hingga ancaman gagal panen. Karena itu, COP30 seharusnya jadi momentum penting. “Kita mengharapkan negara-negara itu memang bisa bersepakat untuk melakukan aksi nyata iklim. Tidak sekedar menyepakati untuk mendiskusikan apa yang perlu didiskusikan tahun depan,” ujarnya.
Ia juga menyayangkan Indonesia belum bergabung dengan koalisi global yang mendorong penghentian bertahap energi fosil. Menurutnya, Indonesia punya peta jalan transisi energi yang bisa menjadi peluang ekonomi. “Sangat disayangkan Indonesia belum masuk,” kata Rayhan.
Kritik muncul pula pada isu pendanaan. Negara maju disebut tak kunjung menunjukkan implementasi roadmap pendanaan USD 1,3 triliun, dan tanpa kejelasan, negara berkembang sulit meningkatkan ambisi. “Developing countries tidak akan bicara ambisi tanpa kejelasan pendanaan,” ujarnya.