Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Relawan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa membawa logistik dengan perahu untuk disalurkan ke Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (10/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Relawan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa membawa logistik dengan perahu untuk disalurkan ke Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (10/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sejak Kamis (11/12/2025) pagi pos relawan penanggulangan Banjir Aceh Tamiang sudah sibuk. Para relawan dari dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa menyusun logistik untuk disalurkan kepada para penyintas. Telur, beras, mie instan dan kebutuhan anak-anak, dikemas rapi oleh para relawan.

Koordinator Posko Ahmad Barqo Syudjai tampak sibuk berkoordinasi melalui gawainya. Dari Kota Langsa, tempat posko berada, mereka berencana membawa logistik ke Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak. Salah satu desa yang terparah terdampak banjir, pada Rabu (26/11/2025) lalu. Perkampungan yang dihuni 1.300 an jiwa itu hilang. Tinggal masjid yang tersisa dan berdiri kokoh dari ganasnya air di hari itu.

Berpa –sapaan karib Ahmad Barqo—terlibat dalam kegiatan relawan di Aceh Tamiang. Dompet Dhuafa, tempat Berpa berkegiatan menjadi salah satu lembaga yang terlibat aktif untuk melakukan distribusi ke daerah terisolir.

Sekumur dipilih karena kondisinya terisolir

Warga dan relawan dari Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa bergotong royong membersihkan masjid pasca diterjang banjir, Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Menjelang siang, tim bergegas. Semua logistik yang dibutuhkan dinaikkan ke dua mobil kabin ganda berpenggerak empat roda. Ini sudah kali kedua mereka ke Sekumur. Setelah melakukan asessmen, tim DMC akan melakukan sejumlah kegiatan. Selain menyalurkan logistik, mereka berencana membersihkan masjid yang terendam lumpur.

Bukan tanpa alasan tim yang dipimpin Berpa memilih Sekumur. Kondisi desa ini porak poranda. Rumah – rumah yang ada di sana, nyaris tidak ada yang tersisa. Gelondongan kayu ada di mana – mana. Penuturan masyarakat sekitar, ini banjir terparah selama tiga dekade terakhir.

“Kalau dari perspektif kami melihat, ini perkampungannya sudah hilang. Akses ke sana juga terputus,” kata Berpa kepada IDN Times.

Tim bergerak mengarah ke Aceh Tamiang. Semula mereka hendak menempuh perjalanan dengan perahu dari Kecamatan Kuala Simpang. Namun saat itu ternyata perahu untuk ke sana sudah habis. Jika melalui sungai dari Kuala Simpang, Sekumur bisa ditempuh dengan waktu tiga jam.

Tim tidak berhenti. Mereka memutuskan menempuh jalur darat melintasi beberapa kecamatan. Sepanjang perjalanan, terpampang jelas bagaimana Tamiang porak poranda dihantam banjir. Salah satu perkampungan yang cukup parah berada di Babo, Kecamatan Bandar Pusaka.

Setelah tiga jam perjalanan darat, tim tiba di dermaga Desa Rantau Bintang, Kecamatan Bandar Pusaka. Tim harus mengantre perahu. Lantaran banyak warga dan donatur tengah membawa logistik ke sejumlah titik di dekat Sekumur.

Sejatinya, Sekumur bisa dilalui via darat. Namun sayang jembatan di Rantau Bintang yang menyambungkan daerah itu dipenuhi kayu. Kondisinya juga mengkhawatirkan jika melintas dengan kendaraan. Meski sudah melewati jembatan, beberapa akses ke Sekumur masih terputus karena tertimbun material longsor.

Naik turun bukit, bawa logistik ke pusat pengungsian

Armada Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa membawa saat melintas di Kecamatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (10/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jelang hari gelap, tim baru bisa memuat logistik ke perahu. Setelah menempuh perjalanan di Sungai Tamiang selama 20 menit, tim tiba ke dermaga di Sekumur. Di sana, beberapa warga sudah menunggu. Logistik diturunkan dari kapal. Dikemas lagi untuk diangkut ke pusat pengungsian warga.

Hari sudah gelap total. Berbekal penerangan dari cahaya senter, tim mulai berjalan ke sekumur. Bukan medan yang mulus. Tim relawan dan warga harus naik turun bukit. Bahkan, untuk menuju ke arah pemukiman, tim harus menaklukkan hamparan gelondongan kayu.

Sekitar 40 menit berjalan kaki dengan muatan logistik, tim tiba di kawasan pemukiman yang porak poranda. Warga yang mengetahui kehadiran para relawan langsung berkumpul. Mereka tahu, relawan yang datang membawa penerangan. Jadi kesempatan bagi warga untuk mengisi daya baterai ponsel hingga senter mereka yang sudah padam.

“Ini kali kedua kami ke Sekumur. Pertama kita ke Sekumur, cukup luar biasa. Ini salah satu desa yang terhitung sudah hilang. Ada beberapa dusun di sini dan semuanya habis. Seperti yang kita lihat tinggal masjid yang berdiri,” kata Berpa.

Menarik nafas sebentar, tim langsung bergegas. Mendirikan tenda, menyalakan pembangkit listrik portabel dan menyediakan sarana pos hangat.

“Akhirnya bisa ngopi,” ujar soerang warga berkelakar.

Para relawan DMC mendirikan pos hangat supaya warga bisa berkumpul. Bercerita dan saling memberi semangat. Di pos ini, relawan menyediakan berbagai minuman hangat. Kopi, teh, coklat hangat, cemilan, semua bisa dinikmati gratis.

Bahkan, relawan juga menyediakan sambungan internet nirkabel. Sehingga, masyarakat bisa menghubungi kerabatnya. Memberi kabar, bahwa mereka dalam keadaan baik. Bercerita bagaimana kondisi Sekumur saat ini.

“Saat pertama kami masuk, itu kami terharu. Pas dibuka internet gratis, warga pada menangis. Karena baru itu mereka bisa terhubung dengan keluarganya. Di situ kami merasa campur aduk. Ada rasa haru, meski bersamaan juga merasa lega,” kata Berpa.

Pembukaan akses jadi hal mendesak di Sekumur

Para relawan Relawam Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa membawa logistik melalui jalur sungai menuju Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (10/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sekumur menjadi satu dari sekian banyak kampung yang terisolir selama banjir menerjang Provinsi Aceh. Bahkan Sekumur juga sudah dua kali hilang dan berpindah karena banjir pada 1996 dan 2006.

Menurut Berpa, pembukaan akses menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan di Sekumur. Sehingga proses pemulihan Sekumur, bisa dipercepat.

Jika tidak dilakukan dengan cepat, maka pemulihan di Sekumur akan semakin lambat. Warga juga terbatas aktivitasnya.

“Dalam pemulihan kebencanaan itu akses itu paling penting. Karena seberapa banyak pun logistik, kita tidak bisa bertahan hanya dengan logistik. Tapi pemulihan itu aksesnya harus terbuka agar masyarakat itu bisa kembali membangun, kembali pulih, kembali bangkit. Membangun kehidupan sandang dan pangannya. Alhamdulillah bantuan sudah mulai masuk. Meskipun ada beberapa yang masih minim, kita coba juga usahakan buat terus distribusi,” kayanya.

Dia pun mendesak pemerintah untuk bertindak cepat. Karena saat ini masyarakat butuh negara hadir. Tidak hanya pada ruang seremoni. Melebihi itu, masuk ke daerah – daerah yang belum terjangkau.

“Ketika negara bisa memfokuskan untuk percepatan dalam penanggulangan, membuka segala akses dengan cepat. Kami sebagai relawan-relawan dan lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebencanaan pun saling gayung bersambut untuk membantu sehingga pemulihan ini lebih cepat,” katanya.

DMC Dompet Dhuafa juga mendorong agar banjir dan longsor yang mendera sejumlah provinsi di Sumatra bisa ditetapkan sebagai darurat bencana nasional. Melihat dari jumlah korban dan dampak kehancuran yang terjadi. “Agar seluruh penanganannya itu bisa terfokus. Ketika akses sudah besar, Insha Allah bantuan dari masyarakat Indonesia itu bisa terdistribusi dengan baik dan pemulihan bisa lebih cepat,” ungkapnya.

Menjadi relawan, belajar ketangguhan dan kesabaran dari penyintas

Relawam Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa berbincang dengan anak-anak di Desa Sekumur, Kecamatan Sekerak, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Berangkat dari Jakarta, Berpa dan rekan – rekan sesama relawan begitu kaget melihat kondisi Aceh Tamiang. Kehancuran di mana – mana. Para penyintas terancam kelaparan karena minimnya logistik saat itu. Keberadaan relawan begitu ditunggu saat itu.

Dalam kondisi kahar, kepedulian terhadap sesama begitu dibutuhkan. Bagi Berpa yang sudah malang melintang di dunia kesukarelawanan, terlibat langsung bersama para penyintas memberikan pelajaran yang begitu bernilai. Melihat langsung bagaimana ketangguhan dan ketabahan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Bagi Berpa, menjadi relawan itu adalah cara bagaimana merawat empati terhadap sesama manusia. “Ketika kita bergabung bersama masyarakat empati kita akan terus muncul. Jiwa-jiwa relawan itu bakalan tumbuh dan solidaritas untuk saling membantu itu pasti akan tumbuh,” pungkasnya.

Editorial Team