ilustrasi pasangan melakukan aktivitas seksual (pexels.com/Yan Krukau)
Awalnya, ia ini mengakui bahwa terjun dalam dunia hitam sejak dirinya sudah berstatus janda. Sebelumnya, ia berdagang di Pasar Pagi menjual sayur-sayuran yang disebutnya “rengge-rengge”.
“Sebenarnya, awalnya aku sudah berstatus janda. Tapi aku dulu jualan di Pasar Pagi di Siantar, jualan "Rengge-Rengge". Rengge-Rengge itu kayak jualan, tomat, cabai dan sebagai macamnya,” ucapnya yang saat itu berstatus janda pada tahun 1998.
Risa menikah tahun 1995, di usianya yang 21 tahun, dia telah memiliki seorang anak dari suami pertama. Kini ia telah menikah untuk ketiga kalinya.
“Awalnya emang diajak sama kawan-kawan jualan (diri) terus dandan. Mereka bilang 'Ah, nanti taunya kau itu, udah belajar lah kau ikut-ikut kami'. Namanya si lugu tadi, akhirnya ngikutlah. Di situ lah belajar mulai ngerokok, minum tuak, mereka duduk sama laki-laki ngikut juga gabung. Lama-lama ada menjelang satu tahun akhirnya tergiurlah karena ada uang yang ditawarkan si hidung belang tadi,” katanya.
Ketertarikan Risa dalam lembah hitam diakuinya berawal pada faktor ekonomi. Dia kemudian tergiur masuk ke dunia prostitusi.
“Pengaruh juga kan karena kehidupan orang susah. Tergiur, akhirnya lama-lama gak risih lagi. Kalau dulu awalnya kan ngomong aja risih. Ternyata setelah diikuti kayak, 'oh, ternyata seperti ini pekerjaan dunia malam'. Jadi karena aku gak mau seperti itu aja dan gak tahan kalau jualan sayur harus bangun pagi jam 3 atau 4 pagi harus bangun untuk jualan, mau tak mau ikutlah (ke lokalisasi)," ucapnya.
Saat itu, usianya berkisar 26 atau 27 tahun, meski masih meraba untuk terbiasa dan belajar untuk membiasakan diri yang didasari pada faktor ekonomi.
Beberapa tahun kemudian, dia merasa sudah stabil kondisi ekonominya, kemudian mencoba untuk membuka satu barak (tempat tinggal menetap di lokalisasi). Untuk pertama kalinya Risa mendapatkan duit sebanyak Rp75 ribu, tahun 1998.
“Dia membayar jasa ku dan tidak lebih dari 15 menit sebanyak Rp75 ribu. Karena aku tertariknya dulu jam setengah 3 atau jam 3 sudah harus jualan (di pasar). Selesai jam 6 pagi, itu aku hanya pegang uang Rp40 ribu. Jadi di situ aku tertarik karena rupiah itu kan. Punya anak kecil juga. Dan dulu ya aku juga tulang punggung juga sama orangtua bahkan adek ku dulu kuliah juga ada dua orang dan aku juga yang kuliahkan,” jelasnya.
Masa itu, pengeluaran yang harus ditutupinya mencapai Rp40 ribu setiap hari. Maka, dia harus memutar otak agar bisa memenuhi kebutuhannya.
“Tapikan belum seperti sekarang sih, Rp100 ribu juga kita bawa plastik kresek belum tentu juga penuh plastiknya (berbelanja). Makanya dulu itu berharga kali,” jelasnya.
Risa kemudian melepaskan pekerjaannya berdagang di pasar dengan godaan teman, untuk ikut yang berhasil diiming-imingkan. Nantinya akan mudah mendapatkan uang.
“Setelah itu saya lepas lah pekerjaan di pajak (pasar). Terus diajak sama kawan. Dia bilang kalau mau lebih enak lagi, ayok. Nah di situlah aku dijual Rp150 ribu saat itu. Kenapa bahasanya dijual? Karena dia bilang mau antar, tapi dia terima uang dari ownerku dulu yang sekarang sudah almarhum,” jelasnya.