Tampak samping bekas peninggalan gudang tembakau deli yang telah disulap menjadi rumah (IDN Times/Eko Agus Herianto)
IDN Times bertemua seorang mantan pekerja di perusahaan tembakau di Saentis pada tahun 1980-an belum lama ini. Namanya Juminem, perempuan yang lahir tahun 1951 dan kini telah memiliki cicit.
“Saya 20 tahun lebih bekerja sebagai karyawan perusahaan tembakau, tepatnya tukang terima tembakau sejak 1980 sampai tahun 2003. Saya kurang ingat kapan perusahannya benar-benar berhenti beroperasi di Saentis ini. Tahun 2003 saya sudah di PHK dan sejak 2003 sudah mulai banyak pengurangan pegawai,” kata Juminem.
Ia juga mengatakan jika pada masa jayanya, produksi tembakau di Saentis bisa 3 bulan sekali mengalami panen.
“Besar sekali dulu ladang tembakaunya. Bahkan untuk nyemprot pupuk aja menggunakan pesawat capung yang terbang rendah. Bahkan pesawat capungnya beberapa kali pernah jatuh. 3 bulan dulu sudah bisa panen. Di sini panennya tidak langsung bersamaan seluruh wilayah tanamnya. Ada jadwal dan tahapnya. seperti dalam satu (kongsi). Kongsi itu merupakan satu proyek atau satu mandoran yang bisa terdiri dari 30 orang, mandor, staff, dan krani,” katanya.
Juminem mengungkap jika pada masa itu yang bekerja di sini baik sebagai petani tembakau, pemilah, krani, sampai mandor mayoritas adalah orang Jawa. Banyak yang menyebut mereka sebagai kuli kontrak.
“Pekerjanya rata-rata orang Jawa, biasa disebut kuli kontrak. Orang tua saya dan nenek saya juga kerja di sini dulu sebagai petani tembakau. Orang tua dulu nanam tembakau cuma pakai sorongan. Dulu juga ada teknik menanamnya. Jadi, setelah panen, ditanami tanaman kucingan dulu biar tanahnya sejuk, baru boleh ditanam tembakau lagi. Tembakaunya dulu cantik-cantik, tapi lama-kelamaan menyusut jadi kecil. Dan tembakau sekarang mutlak telah ditinggalkan. Dulu saya merasakan jayanya saat zaman Soeharto,” ungkapnya.