Cerita CSR PLN, Merawat Harangan Batangtoru Lewat Ekowisata DeSka

Tidak salah jika Tapanuli Tengah (Tapteng) dijuluki sebagai Negeri Wisata Sejuta Pesona. Kabupaten yang berada di Sumatra Utara itu menyimpan segudang potensi pariwisata. Mulai dari kawasan pantai hingga perbukitan.
Sekitar 14 Km dari Pandan, Ibukota Kabupaten Tapteng, terdapat satu desa yang kini disulap menjadi ekowisata menawan. Adalah Desa Sait Nihuta Kalangan II (DeSka). Desa yang kini terus berbenah mengembangkan potensi pariwisatanya.
Berbagai komunitas bergotong royong membantu DeSka. PT PLN (Persero) juga mengambil peran dalam pengembangan Desa Wisata DeSka. PLN menggelontorkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan ke DeSka.
Seperti apa perjuangan para pemuda dan komunitas menyulap DeSka menjadi desa wisata, simak kisahnya.
Aspal hitam berujung di Desa Sigiring-giring, mengawali perjalanan ke Desa Sait Nihuta Kalangan II. Bersambung jalanan berbatu dengan tanjakan dan turunan terjal.
Untuk menuju ke sana bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam dengan kendaraan roda empat. Jaraknya sekitar 14 Km dari Pandan, Ibukota Tapanuli Tengah. Sangat disarankan untuk menggunakan kendaraan berpenggerak empat roda. Atau bisa juga dengan sepeda motor.
Selain kendaraan pribadi, bisa juga menumpangi kendaraan bak terbuka yang dijadikan angkutan umum ke sana. Ongkosnya sekitar Rp15 ribu per orang. Angkutan umum ini biasanya mangkal di pertigaan Hutanobolon.
Saat melintas di jalanan berbatuan, sopir harus tetap waspada karena medan yang dilewati memang menantang. Pun begitu, sepanjang perjalanan, pengunjung disuguhkan dengan lansekap hutan Batangtoru yang eksotis.
Tugu selamat datang berwarna hijau akan menjadi penanda pengunjung sudah sampai di DeSka. Tugu ini menjadi salah satu bantuan PLN dalam program CSR mereka di sana.
“Sejak 2019 DeSka ini menjadi desa wisata. Karena memang potensinya yang sangat luar biasa. Dulunya kami belum menyadari bahwa DeSka bisa menjadi desa wisata dengan memanfaatkan potensinya. Aparat desa kemudian memperkenalkan DeSka ini ke Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Tapteng. Tim dari HPI kemudian mulai melakukan sosialiasasi terkait pariwisata dengan memanfaatkan potensi alam di DeSka.” kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ekowisata Air Terjun Sipitu-pitu Samres Panggabean, di penghujung Desember 2021.
Masuk ke DeSka, para pengunjung akan ditemani Pokdarwis. Mereka akan menjadi pemandu selama berkunjung di sana.
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Haramonting yang umurnya lebih dari 100 tahun menjadi penanda jika peradaban di DeSka sudah cukup lama. Samres Panggabean pun menguatkannya. Dia adalah marga Panggabean keturunan keenam yang bermukim di DeSka. Ditambah anaknya yang masuk menjadi generasi ketujuh.
“Kalau marga Panggabean yang pertama masuk ke sini itu adalah generasi kesembilan. Kami generasi ke-15 panggabean. Anak saya ke-16,” ujar Samres.
Suara katak bertanduk menyalak bersahutan dari kejauhan saat memasuki kawasan ekowisata DeSka. Berpadu dengan suara serangga dan kicau burung dari sela-sela hutan yang masih begitu rapat. Katak bertanduk (Megophrys montana) menjadi salah satu penghuni harangan (red: hutan dalam bahasa Toba).
Saat ini, rute masuk ke dalam kawasan ekowisata sudah dipasangi paving block. Memudahkan para pengunjung yang datang untuk masuk ke dalam hutan. DeSka berbatasan langsung dengan ekosistem Batangtoru. Habitat dari berbagai flora dan fauna. Salah satunya Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang berada dalam ancaman kepunahan dan berstatus dilindungi.
“Ini menjadi berkah sekaligus tanggungjawab bagi kami masyarakat yang berdampingan dengan hutan lindung Batang Toru. Berkah karena potensi wisata dan tanggungjawab kami juga untuk menjaga Harangan Batangtoru,” kata Samres.
DeSka berada pada ketinggian sekitar 700 Meter di Atas Permukaan Laut (MDPL). Warganya sebagian besar bekerja sebagai petani. Memanfaatkan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) di sekitar hutan yang sudah mereka garap turun temurun. Masyarakat mulai meyakini, jika menjaga hutan akan memberikan manfaat bagi mereka.
Saat ini ekowisata terus dikembangkan. Di sana sudah dibangun cottage atau pondok wisata. Ada dua unit cottage yang berada di jalur menuju air terjun Sipitu-pitu sebagai destinasi unggulan. Para wisatawan bisa menjadikan cottage untuk tempat bermalam. Atau memilih homestay yang dikelola masyarakat.
“Perlahan masyarakat punya keyakinan dalam membangun pariwisata di DesKa ini. Tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak, sampai kelak nanti DeSka bisa mandiri. Kita selalu tekankan untuk tidak merusak alam. Karena punya potensi yang tentunya bisa dimanfaatkan. Salah satunya lewat pariwisata,” ujar Samres.
Pengembangan DeSka mendapat andil PLN. Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu mengucurkan dana Rp125 juta untuk pengembangan DeSka. Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Tapanuli Tengah digandeng sebagai mitra pelaksana program. Karena selama ini HPI memang cukup fokus dalam melakukan pendampingan di DeSka.
Wakil Ketua Pengembangan Sumber Daya Manusia HPI Tapteng Damai Oktavianus Mendrofa mengatakan program pendampingan di DeSka dijalankan selama dua bulan. Yakni, November hingga Desember 2021. Program yang dijalankan antara lain, pembangunan gapura wisata, pembangunan papan informasi spot wisata, pelatihan dan pendampingan media sosial serta pendampingan langsung masyarakat yang dilakukan secara berkelanjutan.
“Seluruh rangkaian program tersebut bertujuan mendorong tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan di DeSka. Program yang dilakukan memadukan antara dukungan sarana, peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia serta dukungan promosi dan pemasaran,” kata Damai.
Dukungan program CSR PLN Peduli menjadi angin segar semakin menguatnya optimisme masyarakat mengembangkan potensi wisata yang dimiliki DeSka. Apalagi, dari program itu, saat ini Pokdarwis sudah memiliki paket-paket wisata, standar operasional kepemanduan hingga aturan khusus bagi wisatawan yang berkunjung ke DesKa.
Bukan tanpa alasan PLN menggelontorkan program CSR-nya ke DeSka. Pihak PLN menilai DeSka punya potensi yang besar dalam hal kepariwisataan. Jika terus dimaksimalkan tentu akan berdampak positif pada perekonomian masyarakat.
Penyaluran CSR ke DeSka selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) PLN. Apalagi di DeSka program yang dijalankan adalah pengembangan ekowisata dan konservasi.
“Kami menyalurkan CSR melalui pegiat di sana. Harapannya DeSka menjadi desa wisata yang termanajemen dengan baik. Sehingga bantuan dari PLN dapat berdaya guna utk meningkatkan kesejahteraan warga di sekitarnya,” ujar Manajer Komunikasi PT PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sumut Yasmir Lukman, Selasa (28/12/2021).
Selain di DeSka, PLN juga baru menyelesaikan program CSR dalam pendampingan konservasi penyu di Kecamatan Kolang, Tapanuli Tengah. Bersama pegiat lingkungan di sana, PLN membantu pembangunan pusat konservasi di Pantai Bandang. Termasuk pendampingan masyarakat dalam melakukan konservasi penyu. PLN juga idak menutup kemungkinan program pendampingan di DeSka akan berlanjut.
Yasmir menjelaskan, sepanjang 2021, tidak kurang dari 50 program CSR PLN Peduli sudah terlaksana di Sumut. “Dibanding tahun sebelumnya, ada peningkatan sekitar 80 persen untuk penyaluran CSR,” ujar Yasmir.
Yasmir juga mengatakan, PLN siap memberikan dukungan terhadap masyarakat melalui program CSR PLN Peduli. Program yang berpotensi mendapat dukungan harus sesuai dengan pilar-pilar tujuan pembangunan berkelanjutan PLN.
“Banyak program yang bisa dilakukan. Khususnya dalam bidang lingkungan. Misalnya, penanaman pohon di bantaran sungai, penhijauan kembali kawasan mangrove dan lainnya,” kata Yasmir.
Air Terjun Sipitu-pitu membuat DeSka kian tersohor. Meski pun DeSka masih punya banyak spot lainnya yang bisa dijelajahi.
Pohon-pohon yang begitu rindang menjadi teman pengunjung yang berniat untuk datang ke Air Terjun Sipitu-pitu. Beberapa di antaranya berukuran raksasa. Menjadi tanda bahwa kelestarian hutan masih terjaga. Wisatawan juga akan disuguhkan dengan pemandangan bentang sawah milik masyarakat yang berdampingan langsung dengan hutan.
Untuk menuju air terjun bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 30 – 45 menit. Suara derasnya air akan menjadi penanda jika pengunjung sudah dekat. Untuk menuju air terjun, pengunjung akan melewati total tiga tangga turun dan naik. Lelahnya perjalanan terbayar dengan suguhan air terjun dengan ketinggian air terjun dengan tinggi yang ditaksir mencapai 70 meter.
Wajar jika air terjun itu dinamai Sipitu-pitu. Dalam bahasa Batak, pitu berarti tujuh. Air terjun yang sudah bisa diakses oleh pengunjung adalah tingkat ke tujuh. Posisinya paling tinggi dari enam tingkat lain di bawahnya. Untuk mengakses tingkatan lainnnya tentu membutuhkan waktu yang lama dan tenaga ekstra.
Di Air Terjun Sipitu-pitu, pengunjung bisa melepas lelah. Dengan hanya sekedar menikmati pemandangan, berswafoto hingga berenang. Namun harus tetap hati-hati. Tempat jatuhnya air, kondisinya sangat dalam.
Dian Dhani, seorang pengunjung asal Kota Medan begitu takjub saat melihat Sipitu-pitu. Curahan air, suara hutan, ditambah butuh upaya ekstra untuk mendapatkannya menjadi pengalaman tersendiri bagi Dian.
Kata Dian, DeSka sangat cocok dijadikan destinasi wisata minat khusus. Terutama bagi orang-orang yang gemar menghabiskan waktu di alam.
“DeSka ini bisa menjadi pilihan bagi orang-orang yang ingin melakukan self healing. Setelah penat dengan aktifitas pekerjaan, bisa menyempatkan beberapa hari di sini. Penduduknya ramah, alamnya begitu tenang, potensinya begitu besar,” ungkapnya.
Dian mengetahui DeSka lewat media sosial salah satu penyedia jasa wisata. Lantas dia memutuskan berangkat ke sana. Ternyata apa yang ada di DeSka melebihi ekspektasinya.
“Tadinya saya pikir di sini bakal lelah. Karena membayangkan masuk ke hutan, mendaki sehingga menguras tenaga. Ternyata lebih dari itu. Hilang lelah saya setelah menyaksikan potensi DeSka,” kata Dian.
Jelang petang, Dian kembali ke kawasan pemukiman bersama beberapa pengunjung lain dengan pendampingan dua anggota Pokdarwis. Dalam perjalanan, Dian terkesima dengan suara cukup riuh dari hutan.
“Tadi ada dengar suara jangkrik, burung, siamang sama katak. Keren pokoknya. Jadi saling bersahutan gitu,” ungkap perempuan 25 tahun itu.
Selain air terjun, wisatawan yang datang ke DeSka juga diajak untuk menikmati salak langsung dari kebunnya. Bukan salak biasa. Jika beruntung, pengunjung bisa mendapatkan salah yang di dalamnya tumbuh duri. Rasanya juga tidak kalah enak dengan salak pondoh ataupun salak dari Tapanuli Selatan yang sudah tersohor namanya.
Keunikan ini menjadi daya tarik tersendiri. Belum lagi potensi tanaman herbal dari DeSka. Potensi ini baru diketahui dari masyarakat karena mereka memanfaatkan tanaman sebagai obat-obatan.
DeSka sebagai daerah penyangga ekosistem Batangtoru menjadi kekayaan tersendiri dalam konsep kepariwisataan. “Kawasan desa wisata didukung keanekaragaman hayati yang harus digali lagi potensinya. Tentunya dengan tetap menjaga kondisi Harangan Batangtoru tetap lestari,” kata Damai.
HPI cukup fokus dalam pendampingan pengembangan pariwisata di DeSka. Mereka terlibat dalam melakukan pembinaan terhadap Pokdarwis. Termasuk mengampanyekan soal konservasi lingkungan.
Misalnya, upaya penangkaran Baning Coklat atau Kura-kura Kaki gajah. Sejak 2000, satwa bernama latin Manouria emys ditetapkan oleh organisasi Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) masuk ke dalam status terancam punah atau endangered.
Di DeSka, Baning Coklat jumlahnya masih cukup banyak. Jika ditemukan masyarakat, biasanya akan dipelihara. Bahkan ada juga yang mengonsumsinya.
“Tindakan masyarakat adalah karena ketidaktahuan bahwa baning coklat adalah satwa dilindungi. Kami bersama Yamantab terus berupaya melakukan sosialisasi. Supaya tidak ada lagi baning coklat yang diambil dari hutan. Kita tidak ingin kura-kura ini punah. Sehingga anak cucu kita hanya bisa tahu baning coklat lewat foto saja,” kata Damai.
Alasan-alasan inilah yang membuat HPI, Yamantab dan Pokdarwis menginisiasi pembentukan kelompok konservasi baning coklat. Mereka tengah bersurat kepada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut. Isinya tentang permohonan pendirian penangkaran baning coklat.
“Kita ingin melakukan sinergi antara pengembangan wisata dan konservasi. Dampaknya tentu positif untuk menjaga Harangan Batangtoru. Ketika alam tetap terjaga dengan baik maka akan memberikan manfaat bagi manusia,” ungkap Damai yang juga aktif sebagai pegiat lingkungan.
Data Sustainable Management Initiative for Landscape & Ecosystem (SMILE) Batang Toru dari laman resminya smilebatangtoru.ipb.ac.id menunjukkan, lansekap Batangtoru memiliki luas lebih dari 249.169 ha. 34 persen di antaranya adalah hutan primer, 52 persen hutan sekunder dan 14 persen jenis tutupan lahan lainnya.
Lansekap Batangtoru secara administratif masuk ke dalam wilayah 3 kabupaten dan 1 kota. Antara lain, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Padangsidimpuan.
Lansekap Batang Toru juga memiliki nilai penyedia jasa lingkungan (air, energi, ekowisata, penyerapan karbon), sumber daya mineral (emas) serta menopang kehidupan masyarakat. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Utara Doni Latuparissa mendukung upaya pengembangan ekowisata di DeSka. Ekowisata, kata Doni, merupakan pemanfatan jasa lingkungan yang menjadi pilihan di desa penyangga kawasan konserbasi.
“Ekowisata tidak mengganggu ekosistem secara langsung. Karena yang dimanfaatkan adalah jasa lingkungannya. Sehingga bisa mendorong upaya konservasi. Yang paling penting upaya ini bisa didukung oleh pemerintah provinsi, daerah, dan kesadaran membangun ekowisata,” kata Doni.
Masyarakat juga bisa memanfaatkan pertanian berbasis agroforestry. Sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Aktifitas pertanian pun sejalan dengan aktifitas konservasi di lansekap Batangtoru.
WALHI juga menilai, konsep ekowisata menjadi peluang baru bagi perekonomian masyarakat di kawasan desa penyangga. Mereka sudah banyak melakukan pendampingan dengan merubah perspektif masyarakat dari yang dulunya sebagai perambah kini beralih melakukan pemanfaatan jasa lingkungan.
“Jadi masyarakat beralih. Misalnya melakukan pengelolaan home stay, mengelola camping ground, menjadi pramuwisata dan lainnya. Dan ini terbukti bisa meningkatkan perekonomian masyarakat,” ungkapnya.
Selama ini, PLN terus berupaya melakukan pengelolaan perusahaan dengan pola ramah lingkungan. Komitmen ini membuat PLN diganjar penghargaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) Emas.
Penghargaan ini diserahkan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan disaksikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya di Istana Wakil Presiden, Selasa (28/12/2021).
Ma’ruf Amin mengatakan, penghargaan ini adalah dorongan bagi perusahaan untuk mendukung rencana pemerintah mencapai net zero emission pada 2060 mendatang. Ini juga merupakan tindak lanjut dari pembahasan Conference of the Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 lalu.
“Semakin banyak perusahaan yang menyadari dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tahun ini jumlah penerima Proper Emas, Proper Hijau dan Proper Biru semakin meningkat. Hal ini bisa menjadi motivasi agar semua pihak bisa mendukung tujuan pemerintah dalam mencapai net zero emission pada 2060,” ujar Ma’ruf.
Totalnya, PLN berhasil menyabet delapan Proper emas dan 20 Proper hijau. Penghargaan ini dinilai dari berbagai inovasi yang dilakukan oleh perusahaan. Mulai dari digital marketing, budidaya pakan ternak, mitigasi kebakaran hutan dan lahan, serta pemberdayaan masyarakat adat dan masyarakat lokal di sekitar lokasi perusahaan.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan prestasi ini berhasil diraih berkat kolaborasi yang baik antara PLN dengan masyarakat. Penghargaan ini membuktikan kinerja luar biasa PLN dalam pengelolaan lingkungan hidup serta bermanfaat bagi masyarakat sekitar.
“Penghargaan ini sangat penting bagi PLN. Ini sekaligus menjadi bagian dari semangat transformasi PLN untuk menjalankan kegiatan usaha yang makin berwawasan lingkungan,” ujar Darmawan.
Proper Emas menjadi penghargaan tertinggi dari penilaian sebagai bukti upaya berkelanjutan perusahaan dalam bidang lingkungan, melakukan inovasi dalam aspek pemberdayaan sumber daya serta pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, yang artinya perusahaan telah menerapkan pengelolaan lingkungan secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Sementara Proper Hijau artinya perusahaan tersebut tidak hanya taat, tetapi melebihi ketaatan terhadap peraturan perundangan baik dalam hal penerapan sistem manajemen lingkungan, efisiensi energi, pengurangan dan pemanfaatan limbah B3, penerapan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) limbah padat non B3, pengurangan pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca, efisiensi air dan penurunan beban pencemaran air, perlindungan keanekaragaman hayati, serta pemberdayaan masyarakat.
“Pembangkit-pembangkit PLN yang berhasil mendapatkan Proper Emas berhasil mengedepankan aspek perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dan inovasi dalam segala hal sehingga melebihi dari yang dipersyaratkan oleh pemerintah,” pungkas Darmawan.
DeSka hanya satu dari sekian banyak komunitas rintisan yang mendapat dukungan dari PLN. Di daerah lainnya, PLN sudah berhasil mengembangkan berbagai komunitas melalui program CSR PLN Peduli.
Di pesisir Pantai Utara Jawa, PLN memberdayakan komunitas difabel Jepara melalui program Rumah Sahabat Difabel (Sadifa). Saat ini Sadifa Jepara sudah menghasilkan berbagai produk. Salah satunya adalah sirup herbal. Mereka juga sudah memproduksi masker ramah disabilitas dan memanfaatkan ampas jahe dari produksi sirup herbal menjadi hand sanitizer.
Di tengah pandemi, produk tersebut mengalami lonjakan permintaan. Sehingga, secara ekonomi, anggota Komunitas Sadifa Jepara dapat terus tumbuh berkelanjutan.