Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Bagi Walhi Sumut, deforestasi yang menyebabkan tutupan pohon hilang, membuat air hujan langsung menyentuh permukaan tanah. Kemudian run off dan kayu-kayu sisa penebangan membentuk bendungan-bendungan alami. Lalu bendungan alami tersebut, ketika kapasitas airnya semakin tinggi diameternya dan kubiknya semakin banyak, terpecah dan terjadilah banjir hingga longsoran-longsoran di banyak tempat.
"Pembukaan lahan alih fungsi dan deforestasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir itu mempercepat run off dan mempercepat terjadinya bandang tersebut. Lahan yang dideforestasi itu sekitar 10.500 hektar di wilayah ekosistem Batang Toru saja. Belum lagi misalnya di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser yang sudah lama dialihfungsikan," ungkap Rianda.
Berdasarkan catatan mereka, ada 7 perusahaan terlibat praktik perluasan perizinan, eksploitasi tambang, dan praktik-praktik alih fungsi lahan menjadi tanaman-tanaman industri, seperti lahan untuk pembukaan kayu hingga praktik perkebunan kayu rakyat.
"Ada juga praktik investasi Pembangkit Listrik Tenaga Air yang langsung di badan sungai, seperti PLTA Batang Toru, ada geothermal yang juga berkontribusi besar terhadap beberapa banjir ini," sebut Rianda.
Mereka menilai penegakan hukum tidak tegas dilakukan. Lagi-lagi, penegakan hukum disebut Rianda hanya menyasar warga yang menjadi pekerja, tidak menyasar pelaku utama.
"Misalnya, pelaku logging baik yang legal ataupun yang ilegal. Yang ditangkap hanya untuk pekerja tambang saja. Tapi oknum pelaku utama, pemilik, pengusaha, dan jejaring dari praktik tersebut, tidak pernah diusut tuntas. Jadi penyegelan kemudian penghentian sementara itu hanya normatif dan formalitas belaka, tanpa ada praktik lanjutan yang jelas dan menyasar oknum pelaku utama," klaimnya.