Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
-
Para penyintas banjir mengambil bantuan logistik dari para relawan di Jembatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (5/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Intinya sih...

  • Sepanjang 2025, Bakumsu mencatat 90 kasus kekerasan terhadap pembela HAM

  • Bencana ekologis dinilai sebagai pelanggaran HAM yang terus berulang

  • Polisi akui ada kekerasan, akademisi soroti lemahnya perlindungan masyarakat adat

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times— Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Sumatera Utara (Bakumsu) merilis Catatan Akhir Tahun 2025 yang menggambarkan kondisi hak asasi manusia di Sumatra Utara sepanjang tahun ini. Laporan tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap Pembela HAM masih menjadi persoalan serius, dengan pola yang berulang dan melibatkan berbagai aktor, termasuk aparat negara dan korporasi.

Peluncuran catatan akhir tahun 2025 ini menghadirkan Sekretaris Eksekutif BAKUMSU Juniaty Aritonang, perwakilan Polda Sumatera Utara AKBP Anthero Purba, serta Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Janpatar Simamora.

1. Sepanjang 2025, Bakumsu mencatat 90 kasus kekerasan terhadap pembela HAM

Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dalam paparannya, Bakumsu mencatat terdapat 90 kasus kekerasan terhadap Pembela HAM yang terjadi di Sumatra Utara selama 2025. Bentuk kekerasan tersebut meliputi intimidasi, kekerasan fisik, serangan digital, serangan terhadap organisasi HAM, kriminalisasi, hingga ancaman pembunuhan dan dugaan pembunuhan di luar hukum.

Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Juniaty Aritonang, menegaskan bahwa pelaku kekerasan tidak hanya berasal dari aktor non-negara.

“Kekerasan ini turut dilakukan oleh aktor negara dan korporasi, yang mana mayoritas pelaku dari aktor negara tersebut merupakan polisi,” ujar Juniaty dalam keterangan resmi, Selasa (23/12/2025).

Menurutnya, situasi ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap warga yang memperjuangkan hak asasi manusia. Alih-alih dilindungi, Pembela HAM justru kerap menjadi sasaran represi dalam menjalankan aktivitas advokasi mereka.

2. Bencana ekologis dinilai sebagai pelanggaran HAM yang terus berulang

Warga memindahkan barang dari rumah yang terdampak banjir di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selain kekerasan langsung, Bakumsu juga menyoroti bencana ekologis sebagai bentuk pelanggaran HAM yang nyata di Sumatera Utara. Juniaty menyebut bencana lingkungan bukan peristiwa baru dan terus berulang dari tahun ke tahun.

“Bencana ekologis di Sumatera Utara bukan hanya kali ini terjadi. Tahun lalu Tapanuli Raya, tahun ini beberapa wilayah di Sumatera Utara,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa bencana tersebut tidak bisa dilepaskan dari aktivitas deforestasi yang masif. “Kenapa terjadi? Karena perusahaan secara masif melakukan penggundulan hutan di wilayah hulu,” tambah Juniaty.

Menurut BAKUMSU, kerusakan lingkungan akibat kebijakan yang longgar terhadap korporasi telah memperbesar risiko bencana dan secara langsung mengancam hak hidup masyarakat. Dalam konteks ini, bencana ekologis tidak lagi sekadar persoalan alam, melainkan kegagalan negara dalam melindungi warganya.

3. Polisi akui ada kekerasan, akademisi soroti lemahnya perlindungan masyarakat adat

Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Menanggapi catatan Bakumsu, Kasubbidbankum Bidkum Polda Sumut AKBP Anthero Purba mengakui adanya kekerasan yang melibatkan aparat. Ia menyampaikan permintaan maaf dan membuka ruang kritik.

“Kita minta maaf jika ada catatan-catatan kekerasan. Kami siap dikritik dan itu sah-sah saja,” ujarnya.

Anthero menegaskan bahwa secara institusi Polri tidak membenarkan pelanggaran HAM. “Tidak ada komitmen dan SOP Polri yang membenarkan pelanggaran HAM sehingga jika kekerasan terjadi di lapangan tentu ada mekanisme sanksi bagi pelaku,” tambahnya.

Ia juga menekankan pentingnya melihat konflik agraria dari akarnya. “Terkait konflik-konflik yang terjadi terlebih antara korporasi dengan masyarakat, kita perlu lihat akarnya. Siapa coba yang mengeluarkan izin-izin tersebut?” katanya.

Sementara itu, Janpatar Simamora menilai sorotan publik terhadap aparat penegak hukum merupakan hal yang wajar. Ia menyebut persoalan yang kerap muncul adalah penggunaan hukum tertulis yang kaku, sementara hukum adat dan kearifan lokal sering diabaikan. Menurutnya, pengesahan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat menjadi langkah mendesak agar perlindungan hukum dapat diberikan secara nyata. “Jangan kekosongan undang-undang menjadi alasan untuk tidak melindungi rakyat,” tegas Janpatar.

Editorial Team