Catahu AMAN Tano Batak, Jalan Terjal Melawan Kriminalisasi

Simalungun, IDN Times - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak bersama organisasi masyarakat sipil lainnya membuat refleksi perjalanan masyarakat adat sepanjang tahun 2024, khususnya di kawasan Danau Toba. Di mana dalam momentum ini mereka melakukan peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) yang mendokumentasikan tantangan, perjuangan, dan keberhasilan masyarakat adat selama satu tahun terakhir.
Berbagai isu mendesak mereka persoalkan, seperti kriminalisasi masyarakat adat, ancaman proyek strategis nasional, hingga perjuangan mempertahankan identitas budaya di tengah tekanan ekonomi dan modernisasi. Berdasarkan Catahu yang mereka rilis, sepanjang tahun 2024 masyarakat adat Tano Batak membuktikan bahwa kerja keras kolektif dapat membawa perubahan signifikan.
Di Kabupaten Simalungun misalnya, wilayah adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, Sihaporas, dan Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan diklaim berhasil merehabilitasi lahan seluas 10 hektar. Jengkol, kemiri, durian, dan kopi kini tumbuh subur di tanah tersebut, mengembalikan kesuburan sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas setempat.
1. Dari 90 kepala keluarga di Humbanghasundutan kehilangan akses ke tanah adat mereka akibat konflik dengan perusahaan
Jhontoni Tarihoran selaku Ketua AMAN Tano Batak menyoroti meningkatnya kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Ia mencontohkan penangkapan paksa di Sihaporas pada tahun 2024 yang dilakukan tanpa prosedur hukum, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Ia juga mengingatkan kembali kasus Sorbatua Siallagan, yang sempat divonis bersalah namun akhirnya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Medan.
"Masyarakat Adat mempertahankan hak atas tanah adat, tetapi justru dikriminalisasi. Negara belum menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat adat," kata Jhontoni.
Berdasarkan Catahu mereka, di Humbang Hasundutan, lebih dari 90 kepala keluarga kehilangan akses ke tanah adat mereka akibat konflik dengan perusahaan. Perempuan dan anak-anak sering kali menjadi saksi kekerasan yang dilakukan untuk memaksakan kepatuhan.
Sebagian besar keluarga harus hidup dalam ketakutan, meninggalkan rumah mereka pada malam hari untuk menghindari ancaman. Narasi pembangunan yang disebut inklusif disebut justru menciptakan ketidakadilan yang lebih dalam.