Suasana usai bencana banjir bandang di Kabupaten Aceh Tamiang (IDN Times/Uni Lubis)
Bupati Aceh Tamiang, Armia Fahmi mengatakan saat bencana terjadi dirinya ada di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), tepatnya di posko inti, Tanah Terban, wilayah Aceh Tamiang.
"Di sana saya membahas tentang perubahan status dari status biasa, menjadi status tanggap darurat. Karena kita ketahui bahwa, dengan melihat perkiraan cuaca ini pasti terjadi banjir Aceh Tamiang," katanya pada Pimpinan Redaksi IDN Times, Uni Lubis pada Sabtu (27/12/2025).
Diketahui, Bupati Aceh Tamiang merupakan purnawirawan Polri yang memiliki jabatan terakhir Analis Kebijakan Utama Bidang Sosial Budaya Kapolri. Pria yang lahir pada 12 Oktober 1966. Dia adalah Bupati Aceh Tamiang periode 2025—2030.
Armia, lulusan Akpol 1990 ini berpengalaman dalam bidang SDM. Jabatan terakhir jenderal bintang dua ini adalah Staf Ahli Sosial Budaya Kapolri. Selain itu juga beliau merupakan putra daerah Aceh yang berasal dari Aceh Tamiang.
Pada tanggal 25 November 2025 telah terjadi hujan deras di beberapa provinsi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Hujan deras membuat sungai di Kabupaten Aceh Tamiang meluap.
"Curah hujan pada saat itu sangat tinggi sekali, seperti tidak ada jedanya. Sehingga, saya melihat fenomena ini kok begini? Kan biasa hujan itu kan, kencang ada jedanya. Ini enggak terus hujan," tambah pria 59 tahun ini.
Menurutnya, saat itu air semakin naik. Dia berinisiatif untuk melakukan rapat sampai pukul 02.00 WIB dini hari bersama Wakil Bupati Aceh Tamiang, Ismail SEI, pihak BPBD Aceh Tamiang, serta Kadis terkait lainnya.
"Ketika saya keluar dari ruangan rapat, saya ke pendopo dan saya lihat air sudah naik semakin tinggi. Jadi, ketika air hampir sepinggang orang dewasa, saya lihat ada satu kafe di sana dan saya singgah di situ," tutur Armia.
Namun, ketika ia naik ke lantai 2 di kafe tersebut, ternyata yang terjadi sudah ada 56 orang mengungsi di lokasi itu. Dirinya pun ikut bermalam di situ.
"Pada esok harinya saya turun, karena air masih sepinggang. Mobil sudah terendam, kami turun untuk melihat situasi di sekitar lokasi Terban ini. Saya jalan kaki sampai ke GOR Aceh Tamiang," ucapnya yang saat itu juga telah melihat 2.000 orang serta ternaknya mengungsi dilokasi GOR.
Di lokasi ia bertemu dengan penjual telur. Pada saat itu, penjual telur ingin ke Aceh Timur untuk menjual telur tersebut. Namun, Armia berpikir tidak akan mungkin bisa ke lokasi dengan kondisi banjir, sehingga memutuskan untuk membeli telur tersebut dan membagikannya kepada masyarakat yang ada di dalam GOR.
Dalam ingatannya, banjir tersebut masih terlihat dengan air jernih karena air hujan. Saat debit air semakin tinggi, ia kembali turun jalan kaki ke arah kota.
"Di depan DPRD (sebelah kantor Bupati) airnya cukup kencang, ada juga pengungsi. Gak mungkin kami lanjut, takut terbawa arus," ucapnya.
Akhirnya, dia dan rombongan balik ke kantor BPBD dengan menaiki alat yang sudah disediakan untuk mengarungi arus banjir. Mereka melanjutkan rapat.
"Saat itu, saya pakai kaos, jaket dan celana jins, saya sempat beli sarung sebagai pengganti celana, kemudian ditawarkan pengungsi untuk memakai pakaian mereka karena terlihat basah," ungkap Bupati Aceh Tamiang saat berada di pengungsian selama dua hari.
Dia berpikir, jika debit air juga tidak surut dalam seminggu maka Aceh Tamiang dalam keadaan bahaya. Ditambah listrik pada saat itu sudah padam.
"Gak bisa berkomunikasi, kita hubungi posko pas (saat) ada patroli gitu, untuk meminta tolong berkumpul disini," katanya.
Kondisi pada saat itu juga masyarakat kelaparan. "Saya lihat ada mobil truk bantuan dari ibu Gubernur Aceh, itu lah kita bagikan ke masyarakat di sana," terangnya dalam menceritakan kondisi tersebut.
Meskipun dalam kondisi banjir bandang di Aceh Tamiang, Armia berpikir harus menerobos untuk melakukan sesuatu dengan resiko yang dialami.
"Ternyata kami masuk kampung dalam, kami dihantam air kencang terpukul kami ke satu rumah. Akhirnya, alat susur yang kami gunakan pecah terkena seng. Kami balik ke base, mencoba lagi untuk rencanakan hari Sabtu. Ternyata kami lanjut dengan mengganti mesin boat, melalui jalur belakang namanya Desa Air Tengah kita langsung tembus ke sungai," ucapnya.
Tak diduga oleh Armia, ternyata suasana banjir di sungai tersebut airnya kencang dan ada balok kayu besar. Pihaknya memutuskan untuk belok ke arah perkebunan sawit, sesampainya ia melihat ada seorang meminta tolong di pucuk pohon sawit.
"Saya tanya sudah berapa hari disitu, sudah 3 hari katanya. Dia hanya bawa satu botol air yang berisi setengahnya air sungai yang warnanya coklat," sebut Armia.
Menurutnya, air sungai ini datang dari hulu yang awalnya banjir dengan air jernih kemudian berubah warna coklat dengan lumpur. Di sini, Armia melihat satu boat di dalam ada anggota DPRD untuk menitipkan orang tersebut kepadanya. Masih dalam susurannya, dia menemukan seorang yang sedang berenang pakai kayu.
"Dia bilang saya terdampar disatu pohon disitu, sehingga kita bantu lagi nolong itu kami berhentikan ke jembatan. Tapi, jembatan tidak bisa kami lewati. Akhirnya, orang yang kami tolong kami letak di jembatan dan kami lanjut masuk di kolong jembatan dan pas di situ mogok boatnya," dalam cerita Armia.
Dia bersama 4 orang lainnya yang ikut menyusuri banjir terus berupaya untuk melanjutkan penyusuran mereka, melintasi Sungai Tamiang.
"Untungnya, gak ada pula kayu yang lewat di situ, kalau gak kami juga terhantam di situ, kami lanjut juga lewat kantor Damkar. Kemudian kami ke pendopo rumah Dinas Bupati," lanjutnya.