Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
DSC07120 (1).jpg
Nur Suarni memanen padi di sawah kecil miliknya di Pulau Rempang, Kota Batam. Ia menjadi petani padi satu-satunya yang masih bertahan di pulau ini (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Intinya sih...

  • Petani di Pulau Rempang merayakan Hari Tani tanpa panggung besar, tetapi dengan turun ke sawah dan menanam padi sebagai perjuangan untuk bertahan.

  • Nur Suarni, petani padi satu-satunya di Pulau Rempang, menjalani proses panen dan penggilingan beras di tengah ancaman penggusuran lahan untuk proyek Rempang Eco City.

  • Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai praktik bertani Nur Suarni sebagai wujud semangat reforma agraria yang mengakar dan simbol penting dalam perjuangan hak atas tanah.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pada peringatan Hari Tani Nasional 2025, gema perjuangan petani terasa hingga Pulau Rempang, Kota Batam. Di tengah sorotan nasional atas ruang hidup yang kian terhimpit, terdapat warga Rempang yang merayakan hari itu tanpa panggung besar, tanpa spanduk berderet—hanya dengan langkah sederhana: tetap turun ke sawah. Di atas tanah yang diwariskan leluhur, mereka menanam, merawat, lalu memanen, seolah ingin berkata bahwa bertani adalah cara paling jujur untuk bertahan. Namun perayaan itu juga menyimpan rasa waswas, sebab hingga kini bayang-bayang penggusuran masih mengepung kehidupan sehari-hari mereka.

Pagi itu, embun masih melekat di ujung dedaunan ketika Nur Suarni (65) keluar dari rumahnya di salah satu lereng bukit Kelurahan Rempang Cate. Tongkat kayu ia genggam erat, menjadi penopang tubuh yang sudah renta. Jalannya pelan, menuruni pematang sempit yang licin oleh sisa hujan semalam. Dari arah perbukitan, air menetes tanpa henti, menjaga tanah di lembah kecil itu tetap basah—tanah yang selama lebih dari satu dekade ia rawat seorang diri.

Saya dan seorang jurnalis perempuan dari Batam ikut di belakangnya, menapaki jalur setapak yang curam. Tak ada suara mesin, tak ada lalu lalang manusia; hanya desir angin dan kicau burung sesekali. Nur berjalan menuju sawah kecilnya—sepetak lahan untuk menanam padi, ruang hidup, harga diri, dan jejak pengetahuan yang hampir punah di pulau ini.

Saat tiba di lahan itu, matanya langsung tertuju pada sudut penyemaian. Rumpun-rumpun hijau muda berdiri rapat, seperti pasukan kecil yang bersiap menjadi penopang hidup.

Nur mendekat, lalu menunduk, jemari keriputnya membelai pucuk muda dengan lembut. “Ini benih yang saya rawat sendiri. Dari sini nanti akan lahir beras untuk setahun,” kata Nur, senyumnya tipis—seolah pada helai daun muda itu ia titipkan masa tuanya.

Saat panen menjadi nafas kehidupan

Bulir padi buah ketekunan bertahun-tahun Nur Suarni merawat sawah kecilnya di Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Musim panen adalah masa paling sibuk baginya. Nur menjemput bulir padi yang menguning dengan sabar, lalu menjalani ritual pascapanen yang disebut ngegebyok—memukul batang padi agar bulirnya rontok. Suara bulir yang jatuh ke papan kayu berpadu dengan napasnya yang terengah, mengingatkan bahwa setiap butir padi adalah denyut kehidupan baginya.

Setelah itu, ia menjemur gabah di halaman sawah. Terpal besar dibentangkan, padi dijemur berlapis-lapis di bawah terik matahari. Bau gabah hangat menyeruak. Nur sesekali membolak-baliknya dengan tangan telanjang agar kering merata.

“Kalau matahari bagus, tiga hari sudah cukup,” ujarnya.

Tahap terakhir adalah penggilingan. Di dapur rumahnya, Nur menumbuk gabah menggunakan lesung tua dari kayu ulin. Kayu keras itu juga sudah terlihat tua, dengan permukaan yang mulai halus karena ribuan kali terkena hantaman alu. Suara ketukan berpadu dengan aroma gabah kering yang memenuhi ruangan, seolah menjadi irama rumah yang tak pernah putus.

Perlahan, bulir gabah berubah menjadi beras putih berkilau. Nur menatap hasil tumbukannya dengan mata berbinar. “Kalau sudah jadi beras begini, hati saya tenang,” ucapnya sambil tersenyum tipis, seakan seluruh kerja keras berbulan-bulan terbayar lunas pada momen itu.

Ia bercerita, pada tahun 2012, ia memungut varietas liar padi yang dibiarkan tumbuh tak terurus di sudut Pulau Rempang, lalu menyemai hingga menghasilkan 800 kilogram beras sekali panen—cukup untuk makan setahun penuh.

“Kesejahteraan itu cukup makan. Hal lainnya tambahan. Yang penting bisa bahagia dan menikmati hasilnya,” kata Nur.

Namun, semua itu kini terancam. Lahan seluas 800 meter persegi yang menjadi lumbung hidupnya berada di jalur penggusuran untuk proyek Rempang Eco City, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah yang diusulkan Pemerintah Indonesia.

Proyek ini akan mengubah sebagian besar Pulau Rempang menjadi kawasan industri, properti, dan pariwisata modern—menggusur permukiman, kebun, dan sawah warga yang telah hidup di sini lintas generasi. Rencana pengembangan Rempang Eco City diresmikan sebagai PSN pada 2023. Pemerintah menyebut proyek ini akan membawa investasi ratusan triliun, membuka lapangan kerja, dan “memodernisasi” kawasan. Namun, di balik bahasa pembangunan itu, ribuan warga justru sempat dihadapkan pada ancaman relokasi paksa.

Bagi petani seperti Nur, tanah bukanlah sekadar aset yang bisa dihitung dengan angka. Ini adalah ekosistem yang dibentuk oleh air yang mengalir alami dari bukit, tanah yang subur tanpa irigasi buatan, dan pengetahuan turun-temurun.

“Kalau sawah ini hilang—saya hilang juga,” katanya pelan. “Kalau saya dipindahkan, saya mau makan apa? Tempat lain belum tentu bisa saya tanami seperti ini. Di sini, air dari bukit datang sendiri. Tempat lain, siapa yang menjamin?”

Konflik ini menempatkan warga pada kepentingan nasional dan keberlanjutan hidup mereka. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai pemerintah mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proses perencanaan. Warga tidak dilibatkan secara setara dalam pengambilan keputusan yang akan menentukan nasib mereka.

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, sebagian besar konflik agraria di Indonesia berkaitan dengan proyek infrastruktur dan industri. Pulau-pulau kecil seperti Rempang rentan menjadi target karena dianggap “lahan kosong” oleh pemerintah dan siap dialihfungsikan.

Nur menolak narasi itu. “Sawah ini bukan Cuma tanah. Ini kehidupan. Kalau mereka ambil, itu sama saja merampas hidup saya.”

Di ujung sawahnya, Nur memandangi lembah yang suatu hari akan menjadi jalan menuju kawasan proyek utama. Ia sadar, penolakannya mungkin tak akan menghentikan rencana besar yang digulirkan pemerintah dan investor. Namun, ia tetap bertahan demi satu hal: agar anak-cucunya tahu arti tanah ini.

“Kalau tanah ini hilang, mereka tidak akan tahu rasanya memegang bulir padi dari sawah sendiri,” tutupnya.

Menanam di tengah konflik agraria adalah perlawanan yang mengakar

Bulir-bulir gabah hasil panen digenggam erat di tangan Nur Suarni, hasil ketekunan sekaligus harapan hidup petani terakhir di Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai langkah yang dilakukan Nur Suarni, petani padi satu-satunya di Pulau Rempang saat ini sebagai wujud nyata semangat reforma agraria. Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA, Roni Septian Maulana mengatakan, aksi menanam padi yang dilakukan di tengah ancaman penggusuran merupakan bentuk perlawanan yang mengakar terhadap perampasan tanah.

“Bertani di non-konflik saja sudah sulit sebab memerlukan kesabaran dan usaha yang luar biasa, apalagi di lokasi konflik. Bertani di lokasi konflik menunjukkan kesungguhan tekad perjuangan melawan perampasan tanah. Dan sudah banyak terbukti petani yang bertahan adalah yang menang,” kata Roni, Selasa (23/9/2025).

Menurut Roni, praktik bertani seperti yang dilakukan Nur di Rempang menjadi simbol penting dalam perjuangan agraria karena mencerminkan keterikatan paling mendasar antara manusia, tanah, dan kehidupan.

“Menanam bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi sebuah pernyataan bahwa tanah adalah sumber penghidupan, identitas, dan keberlanjutan kelompoknya,” ujarnya.

Ia menambahkan, setiap benih yang ditanam mengandung makna perlawanan terhadap logika penguasaan tanah yang memutus hubungan manusia dengan alamnya.

“Dalam konteks perjuangan hak atas tanah, menanam adalah cara menegaskan bahwa tanah bukan komoditas belaka. Dengan demikian, praktik sederhana Nenek Nur menjadi simbol yang kuat, bahwa mempertahankan tanah berarti mempertahankan kehidupan itu sendiri, dan perlawanan dapat tumbuh dari akar yang tertanam dalam bumi,” lanjutnya.

Ia juga menilai, sikap tersebut berpotensi memantik gerakan lebih luas. “Hal ini saya yakin tidak disukai pengusaha dan pemerintah yang korup, karena mereka ketakutan akan memantik solidaritas dan persatuan perlawanan yang lebih besar."

Terkait perbedaan antara aksi demonstrasi dan praktik bertani di tengah ancaman penggusuran, Roni menegaskan keduanya sama-sama penting. “Tidak ada perbedaan, keduanya penting dan mendesak untuk secara konsisten dilakukan petani. Karena tidak akan ada negosiasi dan kemenangan tanpa adanya massa rakyat yang marah (demonstrasi dan penguasaan tanah)."

Roni menyebut, menanam di lokasi konflik agraria bukan hanya tindakan ekonomi, melainkan juga politik dan budaya perlawanan. “Menanam di lokasi konflik agraria adalah tindakan politik perlawanan yang menyentuh inti relasi antara manusia, tanah, dan negara. Secara politik, menanam di dalam konflik agraria penggusuran adalah protes keras bahwa pemilik sah ruang hidup itu adalah mereka yang merawatnya, bukan pihak yang mengklaimnya demi kepentingan modal atau proyek,” ujarnya.

KPA menilai keberanian perempuan, terlebih yang telah berusia lanjut seperti Nur, memiliki nilai moral yang kuat. “Keberanian perempuan, apalagi yang telah melewati usia senja, memancarkan pesan moral yang jauh melampaui kata-kata. Tindakan Nenek Nur menegaskan bahwa perjuangan agraria bukan sekadar urusan generasi muda atau aktivis, melainkan tekad lintas usia, lintas gender, dan lintas generasi."

“Menanam dalam situasi seperti itu adalah pesan bahwa tanah adalah nyawa dan kehormatan seorang petani dan bukan komoditas yang bisa dirampas sesuka hati,” tambahnya.

Roni turut menyampaikan rekomendasi KPA terkait konflik agraria di Pulau Rempang. “Bubarkan BP Batam,” tutupnya.

WALHI: Akui wilayah adat masyarakat Rempang

Seruan penolakan PSN Eco City oleh masyarakat Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau menilai model pembangunan yang diterapkan di Pulau Rempang melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani tradisional. Mereka mendorong pemerintah mengadopsi pendekatan berbasis kearifan lokal sebagai alternatif.

WALHI Riau mempromosikan model “Ekonomi Nusantara” yang mendukung pengelolaan lahan berbasis kearifan lokal, seperti agroforestri. Pendekatan ini dinilai mampu memulihkan lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi lokal tanpa merusak ekosistem.

"Selain itu, penting untuk menekankan pengakuan hukum atas wilayah kelola rakyat, termasuk masyarakat adat dan petani tradisional,” kata Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim WALHI Riau, Ahlul Fadli, Selasa (23/9/2025).

Menanggapi kasus yang dihadapi warga Rempang, termasuk sosok seperti Nenek Nur yang mempertahankan sawahnya di tengah ancaman penggusuran, WALHI Riau menyatakan akan mengadvokasi persoalan ini di ranah hukum dan politik.

"WALHI Riau tetap menekankan bahwa proyek ini melanggar hak asasi manusia dan hak atas lingkungan yang sehat. Kami akan mendorong pemerintah untuk menghentikan relokasi paksa, mengakui sejarah panjang masyarakat adat di Rempang sejak abad ke-18, serta segera mencabut PSN Rempang Eco City oleh Presiden,” ujarnya.

Menurut WALHI, pencabutan status PSN menjadi langkah mendesak untuk menyelamatkan hak masyarakat adat, menghentikan praktik perampasan tanah, dan mendorong pengakuan resmi terhadap wilayah adat mereka.

Editorial Team