Bulir padi buah ketekunan bertahun-tahun Nur Suarni merawat sawah kecilnya di Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Musim panen adalah masa paling sibuk baginya. Nur menjemput bulir padi yang menguning dengan sabar, lalu menjalani ritual pascapanen yang disebut ngegebyok—memukul batang padi agar bulirnya rontok. Suara bulir yang jatuh ke papan kayu berpadu dengan napasnya yang terengah, mengingatkan bahwa setiap butir padi adalah denyut kehidupan baginya.
Setelah itu, ia menjemur gabah di halaman sawah. Terpal besar dibentangkan, padi dijemur berlapis-lapis di bawah terik matahari. Bau gabah hangat menyeruak. Nur sesekali membolak-baliknya dengan tangan telanjang agar kering merata.
“Kalau matahari bagus, tiga hari sudah cukup,” ujarnya.
Tahap terakhir adalah penggilingan. Di dapur rumahnya, Nur menumbuk gabah menggunakan lesung tua dari kayu ulin. Kayu keras itu juga sudah terlihat tua, dengan permukaan yang mulai halus karena ribuan kali terkena hantaman alu. Suara ketukan berpadu dengan aroma gabah kering yang memenuhi ruangan, seolah menjadi irama rumah yang tak pernah putus.
Perlahan, bulir gabah berubah menjadi beras putih berkilau. Nur menatap hasil tumbukannya dengan mata berbinar. “Kalau sudah jadi beras begini, hati saya tenang,” ucapnya sambil tersenyum tipis, seakan seluruh kerja keras berbulan-bulan terbayar lunas pada momen itu.
Ia bercerita, pada tahun 2012, ia memungut varietas liar padi yang dibiarkan tumbuh tak terurus di sudut Pulau Rempang, lalu menyemai hingga menghasilkan 800 kilogram beras sekali panen—cukup untuk makan setahun penuh.
“Kesejahteraan itu cukup makan. Hal lainnya tambahan. Yang penting bisa bahagia dan menikmati hasilnya,” kata Nur.
Namun, semua itu kini terancam. Lahan seluas 800 meter persegi yang menjadi lumbung hidupnya berada di jalur penggusuran untuk proyek Rempang Eco City, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah yang diusulkan Pemerintah Indonesia.
Proyek ini akan mengubah sebagian besar Pulau Rempang menjadi kawasan industri, properti, dan pariwisata modern—menggusur permukiman, kebun, dan sawah warga yang telah hidup di sini lintas generasi. Rencana pengembangan Rempang Eco City diresmikan sebagai PSN pada 2023. Pemerintah menyebut proyek ini akan membawa investasi ratusan triliun, membuka lapangan kerja, dan “memodernisasi” kawasan. Namun, di balik bahasa pembangunan itu, ribuan warga justru sempat dihadapkan pada ancaman relokasi paksa.
Bagi petani seperti Nur, tanah bukanlah sekadar aset yang bisa dihitung dengan angka. Ini adalah ekosistem yang dibentuk oleh air yang mengalir alami dari bukit, tanah yang subur tanpa irigasi buatan, dan pengetahuan turun-temurun.
“Kalau sawah ini hilang—saya hilang juga,” katanya pelan. “Kalau saya dipindahkan, saya mau makan apa? Tempat lain belum tentu bisa saya tanami seperti ini. Di sini, air dari bukit datang sendiri. Tempat lain, siapa yang menjamin?”
Konflik ini menempatkan warga pada kepentingan nasional dan keberlanjutan hidup mereka. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai pemerintah mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam proses perencanaan. Warga tidak dilibatkan secara setara dalam pengambilan keputusan yang akan menentukan nasib mereka.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, sebagian besar konflik agraria di Indonesia berkaitan dengan proyek infrastruktur dan industri. Pulau-pulau kecil seperti Rempang rentan menjadi target karena dianggap “lahan kosong” oleh pemerintah dan siap dialihfungsikan.
Nur menolak narasi itu. “Sawah ini bukan Cuma tanah. Ini kehidupan. Kalau mereka ambil, itu sama saja merampas hidup saya.”
Di ujung sawahnya, Nur memandangi lembah yang suatu hari akan menjadi jalan menuju kawasan proyek utama. Ia sadar, penolakannya mungkin tak akan menghentikan rencana besar yang digulirkan pemerintah dan investor. Namun, ia tetap bertahan demi satu hal: agar anak-cucunya tahu arti tanah ini.
“Kalau tanah ini hilang, mereka tidak akan tahu rasanya memegang bulir padi dari sawah sendiri,” tutupnya.