Ilustrasi Rangkong Gading (Rhinoplax vigil). (Sumber: rangkong.org)
Yoki mengungkapkan, kepunahan rangkong menjadi petaka bagi ekologis. Tentunya akan memberi dampak serius untuk manusia.
Rangkong dijuluki sebagai petani hutan. Kenapa? Karena rangkong menjadi penyebar biji-bijian di hutan. Bisa dibayangkan, dengan terbangnya yang mencapai 100 Ha per hari, sudah berapa banyak biji yang disebarkannya.
“Hutan itu punya kemampuan merestorasi sendiri. Nah, tugas itu dikerjakan oleh rangkong,” kata Yoki.
Bahkan kemampuan rangkong, kata Yoki, lebih unggul dari orangutan yang juga menyebar biji. Kelebihannya, rangkong punya kemampuan terbang. Sedangkan orangutan masih membutuhkan pepohonan untuk berpindah tempat.
Kehilangan satu ekor rangkong tentu akan berdampak sistemik. Tak berbeda dengan orangutan, rangkong juga sangat lamban dalam hal reproduksi.
Dilansir dari rangkong.org kelestarian rangkong sangat bergantung pada kondisi hutan. Semua jenis rangkong selalu bersarang di lubang pohon yang terbentuk secara alami. Biasanya, enggang memilih pohon berdiameter ≥ 45 cm dan mencari lubang yang berada di ketinggian 20-50 meter di atas permukaan tanah. Namun, ada beberapa jenis yang mempunyai syarat khusus. Seperti Rangkong Gading yang membutuhkan bonggol atau dahan besar di dekat lubang sarang, sebagai pijakan saat memasukkan makanan ke dalam sarang.
Deforestasi yang terus menggerus kawasan hutan membuat rangkong kian tersudut. Membuat potensi perkembangbiakan juga semakin kecil. Belum lagi faktor musim, cuaca dan ketersediaan pakan yang juga memberikan pengaruh.
“Analoginya begini. Jika ada 100 pasang rangkong gading yang usah dewasa. Paling hanya 10 ekor aja yang bisa bersarang. Oke artinya 90 lagi di antaranya maka harus gantian. Karena tidak ada ruang,” kata Yoki.
Sama seperti semua jenis burung enggang, rangkong gading hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya (monogami). Setelah menemukan lubang sarang yang tepat, sang betina akan masuk dan mengurung diri. Bersama rangkong jantan, lubang sarang akan ditutup menggunakan adonan berupa tanah liat yang dibubuhi kotorannya. Celah sempit disisakan pada lubang penutup untuk mengambil hantaran makanan dari sang jantan, dan juga untuk menjaga suhu dan kebersihan di dalam sarang.
Di dalam sarang, rangkong betina akan meluruhkan sebagian bulu terbangnya (moulting) untuk membuat alas demi menjaga kehangatan telur. Burung betina tidak akan bisa terbang dan bergantung sepenuhnya pada sang jantan, sampai sang anak keluar dari sarang. Tahap bertelur, mengerami, menetas, sampai anak siap keluar dari sarang membutuhkan waktu selama 154-183 hari atau sekitar enam bulan.
Penemuan yang cukup mengejutkan adalah, dari seluruh paruh rangkong yang ditemukan dalam kasus perdagangan, 90 persen di antaranya berasal dari pejantan. Bisa dibayangkan, jika rangkong jantan menjadi korban perburuan. Asumsinya dua rangkong (anak dan ibu) juga mati karena ditinggalkan sang jantan.
“Misalkan jantan dan ditembak ibu dan anak di dalam sarang itu pasti mati. Mereka akan mati kelaparan,” ujar salah satu dari enam pemenang Whitley Award 2020 itu.
Di penghujung 2015, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menaikkan status rangkong gading Near Threatened atau hampir terancam menjadi Critically Endangered atau sangat terancam punah.
Rangkong gading adalah burung yang berukuran sangat besar. Total panjang tubuhnya berkisar antara 150-180 cm. Berat tubuhnya mencapai 2.610-3.060 gram, rentang panjang sayap 44-49 cm dan panjang ekor bagian tengah 30-50 cm.
Sama seperti rangkong, tenggiling juga memiliki peran penting bagi kelangsungan ekosistem. Tenggiling adalah pengendali populasi rayap di habitatnya. Seekor tenggiling bisa memakan sampai 20 ribu ekor rayap dalam sehari.
Satunya-satunya ancaman besar bagi keberlangsungan tenggiling adalah manusia. IUCN juga memasukkan tenggiling dalam daftar terancam punah.
Yoki sepakat jika upaya konservasi rangkong harus digeber. Termasuk melakukan penindakan hukum terhadap para pelaku kejahatannya. Menjaga eksistensi rangkong dan spesies satwa lainnya, adalah upaya penting bagi kelestarian hutan.
“Setiap kali presentasi di depan pemerintah, saya selalu bilang pemerintah tidak usah capek-capek bikin reboisasi semiliar pohon dan lain-lain. Menjaga satwa-satwa seperti rangkong ini supaya menjalankan tugasnya pasti hutan sehat kembali. Tinggal kita melakukan pengawasan terhadap kawasan,” pungkasnya.
Untuk diketahu, dari 32 jenis rangkong yang ada di Asia, setengahnya ada di Indonesia. Bahkan tiga jenis di antaranya bersifat endemik. Jenis – jenis rangkong itu antara lain; julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix) berasal dari Sulawesi (endemik), Kangkareng Sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatusI) berasal dari Sulawesi (endemik), julang sumba (Rhyticeros everetti) berasal dari Sumba (endemik), enggang klihingan (Annorrhinus galeritus), enggang jambul (Berenicornis comatus), julang jambul-hitam (Rhabdotorrhinus corrugatusI), julang emas (Rhyticeros undulatus), kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), kangkareng perut-putih (Anthracoceros albirostris), rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong gading (Rhinoplex vigil), rangkong papan (Buceros bicornis), dan julang papua (Rhyticeros plicatus).