Warga memindahkan barang dari rumah yang terdampak banjir di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)
Kata Ricky, sepatutnya pemerintah sudah mengidentifikasi bahwa konflik sosial pasca bencana sudah terjadi. Di Aceh misalnya. Pengibaran bendera putih adalah bentuk kekecewaan para penyintas terhadap negara.
"Dengan fenomena tersebut, ini sudah menjadi peringatan keras bagi pemerintah bahwa kinerja perangkat negara belum mencapai target dan belum maksimal. Masyarakat yang terkena dampak banjir akan mengalami tekanan mental yang lebih besar karena situasi saat ini dan akan berpotensi memperparah konflik sosial," katanya.
Setelah bencana yang terjadi di Sumatera, pengalaman yang berbeda menunjukkan pola konflik yang berulang. Misalnya; konflik yang berkaitan dengan penyediaan bantuan. Jika bantuan dianggap tidak merata, tidak transparan, atau dipolitisasi, kecemburuan sosial mudah muncul. Bantuan, yang seharusnya membantu, justru menyebabkan konflik horizontal di antara warga.
Kemudian konflik lahan dan relokasi karena kebijakan relokasi yang dilakukan tanpa persetujuan warga dan hilangnya batas tanah akibat bencana, penolakan dan protes sering terjadi.
"Banyak komunitas di Sumatera menggunakan tanah sebagai aset ekonomi, legitimasi sosial, identitas, dan ruang hidup. Dalam kebijakan relokasi sepihak, alasan keselamatan sering kali diabaikan," ungkapnya.
Pemerintah juga harus mewaspadai konflik berbasis identitas. Dalam keadaan darurat, perbedaan agama, etnis, atau hubungan antara penduduk lokal dan pendatang dapat menjadi pemicu konflik.
"Ketika kebijakan mengabaikan konteks sosial, konflik laten berubah menjadi konflik terbuka," katanya.
Konflik juga akan semakin parah jika pemerintah tidak bijak. Kebijakan yang tumpang tindih, respons yang lamban, dan kurangnya ruang bagi masyarakat untuk mengadukan masalah, menyebabkan krisis kepercayaan terhadap negara. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk menghindari konflik vertikal.
Namun, konflik setelah bencana tidak selalu terjadi. Aceh adalah contoh yang bagus setelah tsunami 2004. Sebelum tsunami, Aceh terlibat dalam konflik bersenjata yang berlangsung sejak lama. Perjanjian Helsinki 2005 mendorong perdamaian setelah tragedi.
"Sebuah pelajaran penting dari Aceh bukan jumlah bantuan internasional yang signifikan, tetapi metode pemulihan yang digunakan. Keterlibatan masyarakat lokal dalam rekonstruksi, transparansi pengelolaan bantuan, partisipasi aktor internasional yang relatif netral, dan pemahaman tentang kondisi sosial dan politik Aceh adalah beberapa faktor penting. Bencana dianggap sebagai krisis politik dan sosial yang membutuhkan pendekatan yang inklusif daripada hanya krisis teknis," ungkapnya.
Sayangnya, teknik seperti ini belum banyak digunakan dalam manajemen pasca bencana Sumatera. Negara masih menganggap masyarakat sebagai objek kebijakan dari pada subjek yang memiliki pengetahuan dan kepentingan atas ruang hidupnya sendiri. Metode top down ini mungkin efektif di kertas, tetapi tidak di sosial.
"Tata kelola menjadi lebih sulit karena kurangnya sistem pengawasan publik, koordinasi antar-lembaga yang buruk, dan data korban yang tidak akurat. Kelemahan ini dapat menyebabkan perselisihan yang sebenarnya dapat dihindari saat krisis terjadi," imbuhnya.