Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-12-24 at 9.19.24 PM-190.jpg
Sosiolog Unimed Ricky A Putra. (Dok: Pribadi)

Intinya sih...

  • Kerentanan sosial sering diabaikan pemerintah

  • Menilik akar konflik pasca bencana

  • Desakan untuk pemerintah: Perbaiki tata kelola hingga mitigasi bencana

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times - Terhitung sudah empat pekan para penyintas bertahan di pengungsian, pasca banjir melanda Sumatra Utara, Aceh dan Sumatra Barat. Para penyintas masih berjibaku bagaimana bisa bertahan dari hari ke hari.

Jamak penyintas masih mengandalkan pasokan logistik dari para donatur.  Meski pemerintah juga terus melakukan distribusi. 

Bukan hal mudah menjadi penyintas. Letupan-letupan konflik mulai terjadi di sejumlah tempat. Perebutan logistik hingga kecemburuan sosial sesama penyintas, menjadi problem baru dalam penanggulangan bahala di Sumatra. 

Sosiolog dari Universitas Negeri Medan Ricky Ardian Putra mengatakan, periode pasca bencana kerap menjadi titik rawan munculnya konflik sosial. 

“Ini terjadi ketika proses pemulihan tidak dilakukan secara adil dan partisipatif, sehingga meningkatkan ketimpangan dan ketegangan sosial yang sudah ada sebelumnya,” kata Ricky kepada IDN Times, Rabu (24/12/2025). 

1. Kerentanan sosial sering diabaikan pemerintah

Warga membawa hasil pertanian melintasi Desa Hutanobolon pasca banjir menghantam kawasan itu, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ricky melanjutkan, bencana dianggap sebagai pengganda kerentanan sosial. Kondisi ini memperparah masalah sosial yang selama ini sudah ada seperti kemiskinan, minimnya perlindungan sosial, ketimpangan, ketidakadilan. 

Pemerintah, sering kali abai dalam melakukan pendekatan sosiologis pada penanggulangan bencana. Sering kali, pemerintah hanya berfokus pada pembangunan fisik, serapan anggaran dan lainnya. 

“Pemulihan kondisi sosial biasanya dilakukan secara mandiri oleh kelompok masyarakat itu sendiri seperti melalui tokoh adat, agama atau komunitas yang ada. Keadilan sosial, keterlibatan warga, dan hubungan kekuasaan sering dianggap sebagai masalah yang lebih kecil. Tetapi konflik sosial paling mungkin terjadi pada tahap ini,” katanya. 

Penanggulangan bencana juga diperparah dengan cara pemerintah merespon kritik yang dilontarkan rakyatnya sendiri. Termasuk melontarkan pernyataan blunder yang justru membuat sakit hati para penyintas. Fenomena ini justru menunjukkan bahwa pemerintah telah gagap dalam penanganan bencana. 

“Mirisnya adalah bahwa pemerintah, sebagai instrumen utama negara yang diharapkan mampu mengatasi kerentanan masyarakat korban bencana, malah menunjukkan kerentanannya sendiri saat kinerja percepatan penanggulangan pasca bencana sehingga menjadi sorotan publik dan membuat pemerintah dianggap tidak terlalu serius dalam membantu masyarakat yang terdampak bencana,” ungkapnya. 

Mestinya, ketika negara memahami dan menangani faktor-faktor pengganda risiko ini, para pembuat kebijakan dan pengelola kebencanaan dapat merumuskan strategi yang lebih efektif untuk mengurangi risiko serta meningkatkan ketangguhan masyarakat pasca bencana.

2. Menilik akar konflik pasca bencana 

Warga memindahkan barang dari rumah yang terdampak banjir di Kecamatan Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sabtu (20/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kata Ricky, sepatutnya pemerintah sudah mengidentifikasi bahwa konflik sosial pasca bencana sudah terjadi. Di Aceh misalnya. Pengibaran bendera putih adalah bentuk kekecewaan para penyintas terhadap negara. 

"Dengan fenomena tersebut, ini sudah menjadi peringatan keras bagi pemerintah bahwa kinerja perangkat negara belum mencapai target dan belum maksimal. Masyarakat yang terkena dampak banjir akan mengalami tekanan mental yang lebih besar karena situasi saat ini dan akan berpotensi memperparah konflik sosial," katanya. 

Setelah bencana yang terjadi di Sumatera, pengalaman yang berbeda menunjukkan pola konflik yang berulang. Misalnya; konflik yang berkaitan dengan penyediaan bantuan. Jika bantuan dianggap tidak merata, tidak transparan, atau dipolitisasi, kecemburuan sosial mudah muncul. Bantuan, yang seharusnya membantu, justru menyebabkan konflik horizontal di antara warga.

Kemudian konflik lahan dan relokasi karena kebijakan relokasi yang dilakukan tanpa persetujuan warga dan hilangnya batas tanah akibat bencana, penolakan dan protes sering terjadi. 

"Banyak komunitas di Sumatera menggunakan tanah sebagai aset ekonomi, legitimasi sosial, identitas, dan ruang hidup. Dalam kebijakan relokasi sepihak, alasan keselamatan sering kali diabaikan," ungkapnya.

Pemerintah juga harus mewaspadai konflik berbasis identitas. Dalam keadaan darurat, perbedaan agama, etnis, atau hubungan antara penduduk lokal dan pendatang dapat menjadi pemicu konflik. 

"Ketika kebijakan mengabaikan konteks sosial, konflik laten berubah menjadi konflik terbuka," katanya.

Konflik juga akan semakin parah jika pemerintah tidak bijak. Kebijakan yang tumpang tindih, respons yang lamban, dan kurangnya ruang bagi masyarakat untuk mengadukan masalah, menyebabkan krisis kepercayaan terhadap negara. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk menghindari konflik vertikal.

Namun, konflik setelah bencana tidak selalu terjadi. Aceh adalah contoh yang bagus setelah tsunami 2004. Sebelum tsunami, Aceh terlibat dalam konflik bersenjata yang berlangsung sejak lama. Perjanjian Helsinki 2005 mendorong perdamaian setelah tragedi. 

"Sebuah pelajaran penting dari Aceh bukan jumlah bantuan internasional yang signifikan, tetapi metode pemulihan yang digunakan. Keterlibatan masyarakat lokal dalam rekonstruksi, transparansi pengelolaan bantuan, partisipasi aktor internasional yang relatif netral, dan pemahaman tentang kondisi sosial dan politik Aceh adalah beberapa faktor penting. Bencana dianggap sebagai krisis politik dan sosial yang membutuhkan pendekatan yang inklusif daripada hanya krisis teknis," ungkapnya. 

Sayangnya, teknik seperti ini belum banyak digunakan dalam manajemen pasca bencana Sumatera. Negara masih menganggap masyarakat sebagai objek kebijakan dari pada subjek yang memiliki pengetahuan dan kepentingan atas ruang hidupnya sendiri. Metode top down ini mungkin efektif di kertas, tetapi tidak di sosial.

"Tata kelola menjadi lebih sulit karena kurangnya sistem pengawasan publik, koordinasi antar-lembaga yang buruk, dan data korban yang tidak akurat. Kelemahan ini dapat menyebabkan perselisihan yang sebenarnya dapat dihindari saat krisis terjadi," imbuhnya. 

3. Desakan untuk pemerintah: Perbaiki tata kelola hingga mitigasi bencana 

Para penyintas mengambil bantuan logistik dari para relawan di Jembatan Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Kamis (5/12/2025). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bagi Ricky, penanggulangan bencana tidak hanya melakukan penanganan teknis. Negara harus betul -betul hadir membersamai para penyintas. 

Kebijakan harus diubah dari sudut pandang negara untuk mencegah konflik setelah bencana. 

"Bencana harus dilihat sebagai masalah keadilan sosial dari pada masalah teknis. Transparansi dalam bantuan dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan mendesak untuk dilakukan," ujarnya. 

Masalah sensitif seperti relokasi dan penataan ruang memerlukan pelibatan masyarakat yang terdampak. Pengakuan hak masyarakat adat dan lokal adalah bentuk menghormati budaya dan mencegah konflik yang berlangsung lama.

Bagian dari pemulihan setelah bencana harus mencakup rekonstruksi sosial. Membangun solidaritas, kepercayaan, dan kohesi sosial sama pentingnya dengan membangun rumah dan infrastruktur. Pemuka agama, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga adat harus terlibat lebih dari hanya secara simbolis. 

"Setiap intervensi pasca bencana harus didahului dengan analisis potensi konflik agar kebijakan kebencanaan tidak memperburuk konflik yang sudah ada," ungkapnya. 

Ricky kembali menegaskan, bahala yang terjadi di Sumatra seharusnya menjadi peringatan untuk perbaikan sistem tata kelola hutan dari pada situasi darurat yang berulang. Jika pemulihan pasca bencana dilakukan secara elitis oleh negara, konflik sosial akan berlanjut selama pemulihan. 

"Namun, jika negara berani mengambil bagian dan mengutamakan keadilan sosial, bencana tersebut dapat menjadi titik balik menuju pemulihan yang lebih adil dan berkelanjutan," imbuhnya. 

Jika penanggulangan bencana benar-benar dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran, rakyat juga tidak perlu mendesak status bencana nasional dan meminta bantuan dari pihak internasional. 

"Sejauh ini dalam penilaian masyarakat, pemerintah hanya sibuk memperbaiki reputasinya sendiri dengan mempromosikan apa yang telah mereka lakukan. Sangat aneh memang, jika pemerintah masih haus validasi dari rakyatnya sendiri," pungkasnya. 

Editorial Team