Banyak Penegak Hukum di Aceh Belum Paham Penanganan Kekerasan Seksual

Banda Aceh, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan Peluncuran Hasil Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Aceh. Kegiatan digelar secara virtual pada Senin (7/10/2024).
Peluncuran ini melibatkan 12 organisasi yang ada di Tanah Rencong dengan mengambil sampel lima daerah kabupaten kota di Aceh. Mulai dari Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Utara, dan Kabupaten Bener Meriah.
Pemateri dalam kegiatan ini yakni Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i dan Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzzaman.
1. Disparitas jerat hukum pelaku dan melindungi korban kekerasan seksual

Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i, mengatakan kajian pelaksanaan UU TPKS dilakukan bertujuan untuk menemukan sampai kenali penanganan kasus kekerasan seksual melalui mekanisme peradilan dan mekanisme di luar pengadilan.
Alasan memilih Aceh sebagai wilayah kajian, kata dia, karena melihat daerah berjulukan Serambi Makkah tersebut memiliki otonomi khusus yang diberikan mandat atau wewenang untuk penerapan syariat Islam melalui Qanun Jinayat.
Kondisi ini yang kemudian membuat adanya disparitas atau kebijakan kembar sehingga di satu sisi menimbulkan kebingungan aparat penegak hukum dalam menjerat pelaku dan melindungi korban.
“Apakah menggunakan UU TPKS atau Qanun Jinayat,” kata Imam Nakha'i.
Dampak dari disparitas tersebut, menimbulkan ketidakpastian yang pada akhirnya membatasi perempuan mendapatkan keadilan dan bahkan berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap korban.
Malah sebelum lahir UU TPKS, kata Imam Nakha'i, perempuan yang mengalami kekerasan seksual selama ini lebih banyak bersembunyi dan tidak mau mengungkapkan peristiwa dialami.
Hal ini dikarenakan minimnya saksi dimiliki, ketidakpastian jaminan keadilan, kerentanan perempuan mengalami kriminalisasi, hingga pemulihan yang tidak didapatkan.
Imam Nakha'i berharap dengan lahirnya UU TPKS membuat para perempuan mendapatkan keadilan, jaminan perlindungan, pemulihan, akan menjadi semakin terbuka.
“Tentu saja UU TPKS ini menjadi payung hukum yang diharapkan mampu untuk memberikan jaminan keadilan kepada korban tindakan kekerasan termasuk kekerasan seksual,” ujarnya.
2. Komnas Perempuan pastikan pelaksanaan UU TPKS tidak bertentangan dengan syariat Islam

Komisioner Komnas Perempuan meyakini pelaksanaan UU TPKS di Aceh tidak bertentangan dengan penerapan syariat Islam. Sebaliknya justru diakui sejalan dengan tujuan syariat Islam yang memberi perlindungan dan mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh termasuk perempuan.
Sebab, dalam sejarah perumusan pasal-pasal UU TPKS turut melibatkan berbagai elemen lapisan masyarakat, khususnya para ulama di Indonesia dari organisasi besar Islam yang ada di Tanah Air sehingga dia tidak bertentangan dengan syariah
“Maka sesungguhnya, penerapan syariat Islam di Aceh itu menjadi semangat untuk memberikan peluang perlindungan yang lebih komprehensif, yang lebih terintegrasi sesuai dengan kebutuhan perempuan korban di Aceh,” kata Imam Nakha'i.
Dia menyampaikan pelaksanaan UU TPKS sama sekali tidak melemahkan atau mengurangi hak otonomi khusus milik daerah termasuk di Aceh. Sebaliknya, regulasi memberi jawaban keterbatasan aspek penting dalam mengenali dan mengakui tindak pidana kekerasan seksual di Tanah Rencong.
“Termasuk keterbatasan mekanisme perlindungan terhadap korban dan keluarganya baik dalam proses hukum maupun proses penanganan nonyudisial,” imbuhnya.
Bahkan Komnas Perempuan mencatat bahwa pemberlakukan hukum nasional telah dilakukan di tengah pelaksanan otonomi khusus Aceh, yaitu melalui UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Namun kata Imam Nakha'i, dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang belum mengacu kepada UU TPKS. Oleh karena itu, hasil kajian nanti akan menjadi acuan terkait penerapan regulasi di Aceh.
“Apakah perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual sebaiknya mengacu kepada qanun atau sebaiknya mengacu kepada UU TPKS,” jelas Komisioner Komnas Perempuan.
3. Tujuh hal yang menjadi urgensi pelaksanaan UU TPKS di Aceh

Ada tujuh penyebab urgensi pelaksanaan UU TPKS untuk perlindungan perempuan di Aceh. Poin-poin itu menjadi harapan Komnas Perempuan bahwa UU TPKS bisa berlaku secara umum dan menyeluruh di Indonesia termasuk di Aceh.
Pertama, pelaksanaan otonomi khusus bertujuan untuk perlindungan terhadap perempuan di Aceh.
Kedua, terobosan pada upaya pencegahan, penanganan, perlindungan bagi korban, saksi, keluarga, serta hak-haknya yang melekat.
Ketiga, terobosan hukum acara yang memberikan perlindungan pada korban (pembuktian, prosedur penyidikan, dan penyelidikan, serta persidangan mekanisme di peradilan).
Keempat, perlindungan pada pendamping dan pelapor.
Kelima, keterbatasan regulasi daerah pada mekanisme perlindungan korban, penanganan, dan pemulihan korban serta keluarganya.
Keenam, keterbatasan mekanisme perlindungan korban berdampak pada hambatan pemulihan korban, keluarganya, serta ada keadilan hukum.
Ketujuh, potensi penghukuman terhadap korban, melalui mekanisme pembuktian dengan sumpah.
4. Banyak APH belum paham penanganan kasus kekerasan seksual

Tim Balai Syura Ureung Inong Aceh mewawancarai 82 orang yang terdiri dari 55 perempuan dan 27 laki-laki. Para narasumber mulai dari keluarga maupun korban, aparat penegak hukum, pemberi layanan, dan aparat penegak hukum (APH).
Hasil kajian yang dilakukan mulai Juni 2023 sampai Januari 2024 tersebut, diketahui bahwa masih banyak narasumber khususnya aparat penegak hukum belum memahami materi hukum dan kebijakan yang terkait penanganan kasus kekerasan seksual.
“Pemantauan menemukan masih banyak narasumber dari unsur aparat penegak hukum, petugas layanan, dan aparatur gampong yang belum mendapatkan kesempatan dalam peningkatakan pemahaman,” kata Suraiya Kamaruzzaman.
Dari unsur Wilayatul Hisbah (WH), hanya dua orang pernah mendapatkan kesempatan ikut kegiatan pembinaan terkait Qanun Jinayat dilakukan Dinas Syariat Islam, selebihnya tidak pernah. Bahkan tidak satupun mendapatkan informasi terkait dengan UU TPKS.
Sementara personel kepolisian, rata-rata telah mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas terkait dengan hukum jinayat yang dilaksanakan Dinas Syariat Islam atau Polda Aceh. Namun hanya satu orang ikut sosialisasi UU TPKS dilakukan oleh Mabes Polri.
Malah sebagian besar personel tidak mengetahui keberadaan Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1292/VI/RES/124/2022 tentang penyidikan kasus kekerasan seksual dengan UU TPKS yang ditujukan kepada kapolda.
Dari unsur jaksa menyatakan telah mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas terkait Qanun Jinayat oleh Dinas Syariat Islam. Kejaksaan lebih fokus pada pelatihan berkaitan isu hukum dan kebijakan secara nasional, tapi baru dua orang jaksa yang mengatakan telah ikut dalam sosialisasi UU TPKS dilakukan Kejaksaan Agung pada 2023.
“Selain itu, diskusi tentang UU TPKS juga berlangsung dalam grup internal untuk mengenali lebih lanjut pengaturan dalam UU TPKS,” jelas Suraiya.
Kemudian dari unsur hakim Mahkamah Syar'iyah disebut telah mendapatkan kesempatan terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas terkait dengan jinayat. Peningkatan kapasitas ini dilakukan Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Syariah Aceh dan Dinas Syariat Islam.
Lalu, petugas pendamping UPTD PPA/P2TP2A dan paralegal komunitas tidak semua mendapatkan kesempatan terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas terkait jinayat. Mereka kebanyakan belajar otodidak untuk memahami qanun tersebut karena tuntutan pekerjaan saat penanganan kasus.
Terakhir, petugas rumah aman atau sementara milik pemerintah maupun paralegal dikatakan pernah ikut dalam kegiatan peningkatan kapasitas untuk mendukung peran dan tugas seperti penanganan dan pendampingan korban.
“Termasuk hukum dan kebijakan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta kesejahteraan dan merawat lansia, pembinaan fisik dan mental,” kata Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh.
Kegiatan dimaksud diselenggarakan oleh pemerintah di masing-masing daerah mulai dari DP3A, BPPKS, Dinsos Aceh, Dinsos Aceh Utara, P2TP2A Bener Meriah, dan DPMG Aceh Barat Daya.
5. Hasil kajian di Aceh terhadap kasus kekerasan seksual

Suraiya menyebutkan dari 17 asus kekerasan seksual yang ditemukan, ada empat jenis bentuk kekerasan seksual terjadi di Aceh yakni pelecehan seksual, perkosaan, persetubuhan terhadap anak, dan inses.
Namun dari kasus tersebut yang ditangani dengan Qanun Jinayat hanya dua jenis bentuk kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual dan perkosaan. Bahkan dari kasus yang ditemukan, perkosaan terhadap mahram juga tidak digunakan pada kasus perkosaan inses.
Sebagian besar pelaku, kata dia, 81 persen adalah orang yang dikenal dekat mulai dari ayah, abang atau paman serta pacar. Sementara pelaku yang tidak dikenal empat persen mulai dari tetangga, tukang di rumah, dukun, kenalan di media sosial.
“Dengan usia pelaku mulai dari 8-71 tahun, di mana korban berusia 4-14 tahun,” kata Suraiya.
Lokasi kejadian kekerasan seksual juga beragam mulai dari tempat privat maupun publik. Mulai dari rumah korban maupun pelaku, hingga pinggir jalan atau lokasi sepi tempat wisata.
Suraiya menyampaikan beberapa kasus kekerasan seksual yang dipantau ini diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi tingkat pemahaman korban tentang hukum dan kasus yang dialami untuk membuka serta membuat laporan.
Ditambah lagi, ketersediaan alat bukti pendukung, jarak lembaga pelayanan dari tempat tinggal korban, dukungan keluarga atau masyarakat, karakteristik masyarakat di masing-masing lokasi dan lainnya.
Temuan lain yakni ketidaktahuan korban diperburuk dengan sikap APH yang menyalahkan korban sejak proses pengaduan pertama. Hanya korban memiliki pendamping menerima bukti tanpa lapor, sedangkan yang tanpa didampingi tidak diberikan tanda bukti laporan.
Sementara itu, dari 13 kasus yang menggunakan mekanisme peradilan, 10 korban menyampaikan tidak mendapatkan informasi mengenai hak-haknya serta proses hukum maupun restitusi oleh kejaksaan.
“Dari 17 kasus yang didokumentasikan, empat kasus pelaku bebas, dan 12 kasus pelaku ditahan,” sebut Suraiya.
Sehubungan dengan itu, para petugas pendampingan yang memberikan layanan kata Suraiya, menekankan perlunya revisi Qanun Jinayat untuk memastikan perlindungan serta keadilan lebih baik bagi korban. Termasuk hukuman yang sesuai bagi pelaku.
Belum lagi kasus mekanisme di luar pengadilan yang menempatkan korban pada kerentanan lain. Aparatur gampong memilih menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dialami korban dengan pendekatan adat.
6. Rekomendasi kepada pemerintah

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, Balai Syura Ureung Inong Aceh memberikan lima rekomendasi kepada pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh, yakni sebagai berikut
Pemerintah Aceh telah menerapkan pluralisme hukum dengan menggunakan UU Perlindungan Anak pada kasus Qanun Hukum Jinayat. Oleh karena itu, sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pemerintah Aceh wajib patuh dan melaksanakan hukum nasional untuk perlindungan saksi dan korban kekerasan seksual, antara lain UU Perlindungan saksi dan korban dan UU TPKS.
Pemerintah Republik Indonesia penting untuk memberikan peningkatan pemahaman materi hukum untuk perlindungan perempuan dari tindak pidana kekerasan seksual yang tercantum dalam UU TPKS, UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU nasional lainnya yang memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan, dalam menangani kasus kekerasan seksual yang menggunakan Qanun Hukum Jinayat maupun regulasi daerah lainnya.
Aparat penegakan hukum (APH) seperti polisi, kejaksaan, Mahkamah Agung, segera melakukan evaluasi untuk perbaikan layanan terhadap perempuan korban dalam proses hukum yang dilalui oleh korban, sebagai bentuk dukungan kepada korban. Seperti layanan informasi, dokumen perkara, serta informasi mengenai restitusi.
Pemerintah, Pemerintah Aceh, aparat penegak hukum melakukan langkah-langkah perbaikan mekanisme layanan dengan prioritas pada aspek perlindungan dan pemulihan pada korban kekerasan seksual.
Pemerintah Aceh mendukung langkah-langkah inisiatif masyarakat sipil yang melakukan layanan pendampingan dan hukum pada korban dan keluarganya.