Kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jumat (28/11/2025).(ANTARA FOTO/Yudi Manar)
Tidak sedikit yang menyebut jika kerusakan lingkungan memberi andil besar pada banjir yang melanda Tapanuli Raya –Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan--. Para aktivis lingkungan, menyebut banjir kali ini merupakan bencana ekologi. Beda dengan pemerintah yang memakai diksi bencana hidrometeorologi.
Kerusakan ekosistem Batang Toru yang meiputi tiga kabupaten itu, merupakan habitat dari Orangutan Tapanuli. Primata yang langsung menyandang status terancam punah begitu diumumkan pada 2017 lalu.
Bahkan, sebelum bencana melanda, habitat orangutan tapanuli sudah terfragmentasi di blok barat, blok timur, dan blok selatan.
“Bahkan sebelum bencana, satwa ini sudah terancam,” ujar Direktur Green Justice Indonesia (GJI) Panut Hadisiswoyo.
Panut juga sepakat, temuan bangkai orangutan itu menjadi indikasi kerusakan habitat. Selama ini ancaman terbesar terhadap keberadaan orangutan tapanuli adalah deforestasi, perubahan lahan, hilangnya tutupan hutan untuk perkebunan maupun industri ekstraktif.
“Ancaman ini sangat menyulitkan orangutan tapanuli karena mengakibatkan fragmentasi hutan, sehingga wilayah jelajahnya terganggu. Perubahan ruang gerak orangutan tapanuli membuatnya terisolasi ataupun terkurung dalam satu habitat yang tidak terhubung dengan habitat lain,” katanya.
Sebab, orangutan tapanuli hidup di lereng perbukitan yang memang saat ini sudah sangat terdesak. Orangutan tapanuli hidup di lereng yang lebih tinggi karena di dataran rendah sebagian sudah terkonversi atau beralih fungsi menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan ataupun lahan untuk industri ekstraktif seperti tambang emas dan juga ada PLTA.
Menurut Panut, saat ini yang harus dilakukan adalah menyerukan agar hulu, DAS dan kawasan lindung tidak disentuh oleh aktivitas ekstraktif dan juga aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan atau target perluasan pertanian. Pemerintah untuk menata ulang kawasan hutan dan termasuk kawasan APL yang berhutan.
“Kawasan hutan yang sudah dilegalkan sebagai fungsi lindung yang ditetapkan secara undang-undang, tetapi masih banyak harus dilindungi. Area di luar dari kawasan lindung yang berhutan, harus memiliki kepastian hukum terkait dengan perlindungan area yang berhutan ini sebagai bagian dari ekosistem dan juga sebagai areal penyangga,” katanya.
Selain itu, areal yang sensitif, berlereng yang saat ini masih sebagai hutan dan juga sedang ditargetkan untuk dibuka untuk perkebunan dan aktivitas ekstraktif lainnya harus dilindungi.
Menurutnya, APL berhutan ini pengelolaannya harus berorientasi pada perlindungan DAS. Terutama sepanjang sungai, harus ada larangan pembukaan lahan. “Masyarakat, kita juga sebagai bagian dari civil society organization (CSO) mendorong pemerintah agar penguatan tata ruang. Perencanaan tata ruang yang berbasis keseimbangan ekologis, bukan karena desakan untuk investasi ekstraktif,” katanya.
Di juga mendorong soal tata ruang yang berkeadilan. Baik bagi satwa, mau pun manusia. Ini menjadi penting sebagai dasar dari semua rencana-rencana pembangunan yang ada di ekosistem Batang Toru.
“Bila tata ruang tidak sehat, maka bencananya akan datang. Kondisi ekosistem Batang Toru yang rapuh tapi juga penting bagi kelangsungan kehidupan termasuk masyarakat dan juga keanekaragaman hayati di dalamnya, kita mendesak bahwa ekosistem Batang Toru ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. Ini tidak bisa ditawar lagi,” pungkasnya.
Terpisah, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut mengatakan, bangkai orangutan tersebut sudah dievakuasi.
“Kami sudah melakukan evakuasi dan sudah dikuburkan di Bidang KSDA wilayah III Padangsidimpuan,” ujar Kabid KSDA Wilayah III Padangsidimpuan Susilo AW, Jumat malam.
Setelah temuan itu, pihaknya juga mengklaim sudah menugaskan personel dengan organisasi nonpemerintah untuk melakukan pemantauan pascabencana untuk satwa liar.