Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
antarafoto-pemakaman-jenazah-korban-longsor-di-tapanuli-selatan-1764587195.jpg
Warga memikul jenazah korban longsor untuk dimakamkan di Kampung Duren, Desa Batu Godang, Kecamatan Angkola Sangkunur, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Intinya sih...

  • Distribusi logistik lambat, pendataan amburadul, dan kurangnya koordinasi antarinstansi.

  • Banjir bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, tetapi juga kerusakan ekosistem yang telah terjadi lama.

  • Evakuasi minim peralatan, pengungsi rentan penyakit

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Medan, IDN Times – Ratusan korban jiwa berjatuhan dalam bencana alam yang menghantam Sumatra Utara sejak 25 November 2025. Begitu juga di sejumlah provinsi lain seperti Aceh dan Sumatera Barat.

Tingginya curah hujan selalu menjadi alasan klasik pemerintah dalam bencana hidrometeorologi. Pemerintah seperti enggan menyebut faktor lainnya seperti kerusakan lingkungan.

Bencana yang menghantam Sumut juga memperlihatkan, bagaimana pemerintah gagap dalam menangani bencana. Manajemen tanggap bencana pun dipertanyakan.

Kritik ini dilontarkan Medan Lawyers FC. Komunitas pengacara yang ikut terjun pada proses evakuasi para korban.

“Dalam situasi darurat seperti ini, negara seharusnya hadir cepat dan terorganisir,” kata Gumilar kepada IDN Times, Rabu (3/12/2025).

Citra baik pemerintah di media sosialnya tidak semanis kondisi di lapangan. Dari lapangan Agum –sapaan karibnya—melihat langsung kegagapan pemerintah dalam menangani bencana.

1. Bantuan tak merata dan minim koordinasi jadi sorotan

Banjir merendam sejumlah kecamatan di Kota Medan sejak Selasa (30/11/2025). Banjir ini disebut-sebut yang paling besar dalam satu dekade terakhir.

Dari lapangan, Gumilar melihat, bantuan logistik tidak merata, pendataan amburadul, dan koordinasi antarinstansi lemah. Ada pengungsi yang berhari-hari hanya mengandalkan bantuan sesama warga tanpa kepastian kapan logistik resmi pemerintah akan tiba.

Banjir besar yang memutus akses di banyak daerah membuat distribusi logistik berlangsung lambat. Di sejumlah wilayah, pengungsi bertahan tanpa pasokan makanan, air bersih, obat-obatan, hingga selimut. Banyak warga mengaku tidak pernah menerima bantuan resmi meski sudah berhari-hari berada di tenda darurat.

“Kurangnya koordinasi juga terlihat sejak awal. Beberapa daerah tidak menerima peringatan dini, meski hujan intens dan debit sungai menunjukkan tanda bahaya. Akibatnya, banyak warga kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan barang-barang atau mengungsi lebih awal. Situasi ini menunjukkan bahwa mitigasi bencana masih dilakukan secara reaktif, bukan preventif,” kata Agum.

2. Kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan jadi akar masalah

Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Kata Agum, banjir Sumatera Utara bukan hanya akibat curah hujan ekstrem. Kerusakan ekosistem telah terjadi lama dan dibiarkan tanpa pengawasan ketat. Alih fungsi hutan, penggundulan daerah resapan air, aktivitas industri tak terkendali, hingga maraknya pembalakan liar menyebabkan sungai dipenuhi sedimentasi dan wilayah tangkapan air menyusut drastis.

“Hilangnya keseimbangan ekologis membuat daerah-daerah padat penduduk semakin rentan saat hujan deras melanda. Kerusakan ini seharusnya menjadi refleksi mendalam bahwa negara tidak hanya wajib memberi bantuan darurat, tetapi juga bertanggung jawab atas gagalnya perlindungan lingkungan selama ini,” tegasnya.

3. Evakuasi minim peralatan, pengungsi rentan penyakit

Warga berada di depan rumah yang rusak akibat banjir bandang di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jumat (28/11/2025).(ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Di banyak titik bencana, evakuasi dilakukan secara terbatas karena kurangnya perahu karet, alat evakuasi, hingga tenaga medis. Relawan dan warga terpaksa membuat perahu rakitan untuk menyelamatkan orang-orang yang terjebak. Sementara itu, korban luka harus menunggu lama untuk mendapatkan penanganan, memperbesar risiko kematian.

Kondisi pengungsian juga memprihatinkan. Fasilitas sanitasi minim, akses air bersih terbatas, dan risiko penyakit menular meningkat, terutama pada anak-anak dan lansia.

Di tengah situasi ini, kebutuhan akan penanganan cepat, tepat, dan terpadu menjadi sangat mendesak. “Krisis kali ini menjadi alarm keras bahwa Sumatera Utara membutuhkan perubahan sistem yang lebih dari sekadar respons jangka pendek. Negara harus menuntaskan pendataan korban, mempercepat distribusi bantuan, mengerahkan semua sumber daya untuk pencarian korban hilang, hingga menjamin kebutuhan dasar seluruh warga terdampak,” katanya.

Tak kalah penting, lanjut Agum, audit lingkungan harus dilakukan di wilayah rawan bencana dan penegakan hukum wajib diterapkan terhadap pihak-pihak yang merusak ekosistem.

“Dalam situasi genting ini, negara tidak boleh hadir hanya melalui pidato atau konferensi pers. Negara harus berada di tengah rakyat yang basah, lapar, menggigil, dan kehilangan keluarga,” tukasnya.

Banjir di Sumatera Utara adalah tragedi yang tidak boleh terulang. Dan agar tidak terulang, negara wajib bertanggung jawab sepenuhnya.

Editorial Team